Minggu, 26 Mei 2019


Tc-99m TRODAT-1: Pencitraan Molekuler untuk Penyakit Parkinson

Tc-99m TRODAT-1 (TRODAT scan) yang berikatan dengan Transporter Dopamin (TDa) pada ujung saraf presinaps di striatal otak. TRODAT scan menggunakan kamera SPECT untuk mendiagnosa dan memonitor progresifitas dari penyakit Parkinson. Tc-99m TRODAT-1 pertama kali dikembangkan di tahun 2005 dan telah tersedia secara komersil di Taiwan. Tc-99m TRODAT-1 telah tersebar luas di banyak negara (India, Brazil, Thailand, dan lain sebagainya) sebagai modalitas diagnostik tambahan dari penyakit Parkinson. Hingga saat ini, lebih dari 10.000 TRODAT scan per tahun dikerjakan di seluruh dunia. Saat ini, di Indonesia TRODAT scan sudah dapat dikerjakan di rumah sakit MRCCC Siloam Semanggi, Jakarta.

Gambar 1. TRODAT scan dalam membedakan jenis tremor pada pasien dengan parkinsonism.

  



Berdasarkan laporan ilmiah, TRODAT scan dapat bermanfaat pada pasien yang dicurigai menderita penyakit Parkinson. TRODAT scan juga dapat membantu dalam membedakan jenis tremor esensial dengan sindrom parkinsonism (Penyakit Parkinson idiopatik, multisystem athropy, dan vascular parkinsonism). TRODAT scan dapat mendeteksi sejak tahap awal dari penyakit Parkinson. TRODAT scan juga dilaporkan dapat bermanfaat dalam mendiagnosa dan memonitor pasien psikiatri dengan adiksi.


Gambar 2. (A) Normal, (B) stadium I Parkinson, pasien dengan tremor dan bradykinesia sisi kiri, (C) Stadium III Parkinson, pasien dengan bradykinesia kedua sisi, terutama sisi kiri, (D) Stadium V, pasien dengan akinesia berat di kedua sisi.




Tc-99m TRODAT-1 disuntikkan melalui intravena dengan dosis 22 – 28 mCi (814 – 1.036 MBq). Pencitraan dengan SPECT dilakukan 3-4 jam setelah penyuntikan Tc-99m TRODAT-1. Selama ini, TRODAT scan merupakan prosedur pencitraan diagnostik yang aman, nyaman untuk pasien, dan dapat diandalkan dalam menganalisa TDa. Seperti halnya prosedur kedokteran nuklir yang lain, prosedur ini tidak boleh dilakukan pada pasien hamil dan menyusui. Belum diketahui kontraindikasi yang lain dari prosedur TRODAT scan ini. Efek samping yang dapat terjadi setelah prosedur ini biasanya bersifat ringan dan sementara, di antaranya pusing, nyeri punggung, hipertensi, dan kesemutan.


Kamis, 20 Desember 2018

TERAPI KEDOKTERAN NUKLIR UNTUK PENDERITA LIMFOMA NON-HODGKIN

dr. Ryan Yudistiro, SpKN, FANMB, PhD

Limfoma non-hodgkin adalah salah satu keganasan kelenjar getah bening yang banyak diderita oleh orang dewasa. Walapun dalam beberapa tahun belakangan ini, jumlah penderitanya cenderung stabil dan angka kematiannya cenderung menurun, namun banyak penderita limfoma dengan risiko menengah-tinggi mengalami kekambuhan dan perburukan dari penyakitnya.

Berbagai pilihan metode terapi dilakukan untuk meningkatkan respon terapi serta memperpanjang lama bebas penyakit dan harapan hidup. Pilihan metode terapi yang saat ini dapat diberikan pada penderita limfoma adalah kemoterapi, imunoterapi dengan antibodi, terapi radiasi, radioimunoterapi, dan transplantasi stem cell.

Radioimunoterapi adalah kombinasi terapi dengan menggunakan antibodi yang ditempelkan dengan radioaktif. Antibodi akan diberikan ke dalam aliran darah dan membawa radioaktif yang memancarkan energi radiasi spesifik menuju target pada sel tumor. Energi radiasi tersebut akan merusak rantai ganda DNA dan memicu kematian sel. Energi radiasi tidak hanya membunuh sel yang terikat dengan antibodi, tapi juga sel tumor lainnya yang tidak terikat dengan antibodi, sepanjang masih berada pada jarak penetrasi dari radioaktif tersebut. Fenomena ini disebut cross-fire effect yang menjadi mekanisme dasar dari radioimunoterapi.

Gambar 1. Mekanisme dasar radioimunoterapi

Limfoma non-hodgkin berasal dari sel darah putih tipe B dan T yang tumbuh secara tidak normal. Sebagian besar penderita limfoma non-hodgkin berasal dari sel tipe B yang banyak mengekspresikan reseptor CD20 (lebih dari 90%). Reseptor CD-20 ini yang menjadi target antigen dari antibodi-antiCD20, seperti Ibritumomab atau Rituximab. Dengan menempelkan antibodi tersebut dengan radioaktif, maka radioimunoterapi ini akan sangat efektif dan spesifik membunuh sel limfoma. 

Radioimunoterapi diberikan pada penderita yang mengalami kekambuhan atau penderita yang tidak merespon terhadap pengobatan yang standar. Radioimunoterapi ini juga efektif sebagai terapi konsolidasi dalam meningkatkan keberhasilan terapi pada penderita yang baru pertama kali diberikan kemoterapi. Namun demikian, terapi ini tidak dapat diberikan pada penderita yang hamil dan menyusui, anak usia di bawah 18 tahun, riwayat alergi terhadap ibritumomab atau rituximab, penderita yang terdapat keterlibatan sumsum tulang lebih dari 25%, penderita dengan jumlah sel darah sumsum tulang yang tersupresi, penderita yang pernah melakukan radioterapi dan transplantasi stem-sel.

Setelah penderita memenuhi kriteria persyaratan pemberian radioimunoterapi, penderita akan diberikan antibodi tanpa radioaktif (rituximab) dosis rendah dengan tujuan untuk menutup reseptor CD20 pada sel-B yang normal. Tujuan lain dari pemberian rituximab ini adalah untuk meningkatkan jumlah antibodi yang spesifik menempel pada sel tumor. Minimal 7 hari kemudian, rituximab dosis rendah kembali diberikan yang kemudian dilanjutkan oleh pemberian radioimunoterapi dengan interval waktu 4 jam setelah pemberian rituximab tersebut. Dosis radioimunoterapi diberikan berdasarkan berat badan dan kadar trombosit penderita. Pada penderita dengan nilai trombosit > 150,000 maka dosis radioimunoterapi yang diberikan adalah 0.4mCi/kgBB, sedangkan penderita dengan nilai trombosit antara 100,000 – 150,000 maka dosis radioimunoterapi adalah 0.3mCi/kgBB. Dosis maksimal radioimunoterapi yang dapat diberikan adalah 32mCi.


Gambar 2. Protokol pemberian radioimunoterapi. RIT = radioimunoterapi.

Radioimunoterapi sangat efektif diberikan pada penderita yang mengalami kekambuhan atau tidak berespon dengan terapi standard dan sebagai terapi konsolidasi pada penderita yang berespon dengan kemoterapi. Radioimunoterapi menunjukkan nilai keberhasilan terapi yang lebih tinggi dibandingkan terapi standar dengan penderita yang mengalami complete response juga lebih tinggi. Radioimunoterapi terbukti dapat memperpanjang waktu bebas perburukan penyakit (progression-free survival) dan harapan hidup (overall-survival) yang lebih panjang dari terapi standard. Keberhasilan terapi dinilai berdasarkan pemeriksaan klinis dan perbandingan PET/CT FDG sebelum terapi dan 3 bulan setelah terapi.

Gambar 3. Contoh kasus penderita yang mengalami complete response setelah RIT. PET/CT sebelum RIT (kiri), PET/CT 3 bulan sesudah RIT (kanan)

Seperti halnya terapi yang lain, radioimunoterapi juga memiliki keterbatasan dalam hal toksisitas atau efek samping. Efek samping dari radioimunoterapi dapat terjadi pada fase awal maupun fase lambat. Pada fase awal setelah pemberian radioimunoterapi, efek samping yang paling menonjol adalah menurunnya nilai sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit pada 4-6 minggu setelah radioimunoterapi yang akan kembail ke nilai normal setelah beberapa minggu. Efek samping fase awal lainnya adalah lemas, mual, muntah, demam, sakit kepala, gatal, batuk, tenggorokan gatal, dan pusing yang biasanya bersifat ringan dan sementara.

Sedangkan efek samping lambat yang bisa terjadi setelah beberapa bulan pemberian radioimunoterapi adalah timbul keganasan kedua selain limfoma non-hodgkin. Keganasan kedua tersebut dapat berupa keganasan darah atau keganasan lainnya. Namun, jumlah penderita yang mengalami keganasan kedua ini masih relatif rendah dan juga dapat terjadi pada penderita yang diberikan terapi lain. Faktor yang dapat digunakan untuk memprediksi terjadinya keganasan kedua ini adalah keterlibatan sumsum tulang. Oleh sebab itu, radioimunoterapi sebaiknya diberikan pada penderita yang tidak memiliki keterlibatan sumsum tulang.

Keterbatasan yang lain dari radioimunoterapi ini adalah masalah biaya yang masih relatif mahal. Di Amerika Serikat harga radioimunoterapi ini sekitar 50,000 US$, sedangkan di Jepang harganya sekitar 40,000 US$ dan  di eropa sekitar 17,500. Meskipun demikian, dari analisa biaya radioimunoterapi menunjukkan bahwa radioimunoterapi memiliki biaya bebas penyakit yang dihitung per bulan dan per tahun jauh lebih rendah dibandingkan terapi standar. Hal ini menunjukkan bahwa radioimunoterapi memberikan tingkat efektifitas yang tinggi dengan analisa biaya yang lebih rendah dibandingkan terapi standar.

Tabel 1. Analisa biaya radioimunoterapi (dalam mata uang Euro (€))
Biaya
Radioimunoterapi
Terapi standar 4 siklus
Terapi standar 8 siklus
Total biaya
17,500
10,000
20,000
Biaya bebas penyakit 
(1 bulan)
1,200
1,600
1,800
Biaya bebas penyakit 
(1 tahun)
14,500
19,000
21,000





Sabtu, 08 Desember 2018

DENGAN TERAPI INI, ANDA TIDAK PERLU MENGHENTIKAN KONSUMSI LEVOTIROKSIN UNTUK TERAPI RADIOTIROABLASI DAN CEK TIROGLOBULIN

Oleh: Ryan Yudistiro

Thyroid Stimulating Hormon (TSH) dihasilkan oleh organ kecil di dalam otak yang bernama kelenjar hipofisis dan berfungsi merangsang kelenjar tiroid di leher untuk menghasilkan hormon tiroid dan protein yang khas dihasilkan oleh sel tiroid, yaitu tiroglobulin. Kadar TSH akan meningkat jika kadar hormon tiroid rendah, dan akan turun jika kadar hormon tiroid meningkat, begitu sebaliknya sampai mencapai keseimbangan kadar kedua hormon tersebut di dalam batas nilai normal.

Pada pasien kanker tiroid yang sudah diangkat seluruh kelenjar tiroidnya, maka kadar hormon tiroid akan sangat rendah sekali, bahkan dapat tidak terdeteksi sama sekali, sehingga kelenjar hipofisis secara otomatis akan memproduksi TSH dalam kadar yang tinggi untuk merangsang sel tiroid yang masih tersisa untuk memproduksi hormon tiroid dan tiroglobulin. Namun, karena sudah tidak memiliki kelenjar tiroid, atau karena jumlah sisa sel tiroid yang tidak mencukupi untuk memproduksi hormon tiroid, kadar TSH terus meningkat tinggi dan menyebabkan kondisi kekurangan hormon tiroid. Kondisi yang disebut hipotiroid ini akan menurunkan metabolisme tubuh dan menimbulkan gejala seperti mudah lelah, lemas, nyeri otot dan sendi, tidak tahan udara dingin, sulit buang air besar, kulit kering, berat badan meningkat drastis, suara serak, kadar koleterol tinggi, denyut jantung melambat, depresi, sampai gangguan ingatan.

Gambar ilustrasi. Mekanisme hipotiroid pada pasien kanker tiroid setelah dioperasi
T3, T4 = hormon tiroid, TSH = Thyroid Stimulating Hormone

Levotiroksin adalah protein sintetis yang memiliki efek menyerupai hormon tiroid. Konsumsi levotiroksin selain dapat mengatasi kondisi hipotiroid juga dapat menghambat pertumbuhan sel tiroid dengan menekan kadar TSH dalam tubuh menjadi sangat rendah. Namun demikian, kadar TSH yang tinggi diperlukan untuk terapi ioidium radioaktif (RAI) atau deteksi sisa sel tiroid melalui pemeriksaan kadar tiroglobulin. Kadar TSH yang tinggi akan merangsang sisa sel tiroid untuk menangkap RAI dan juga memproduksi tiroglobulin. Oleh sebab itu, pasien kanker tiroid yang akan menjalani terapi RAI atau pemeriksaan kadar tiroglobulin akan disarankan untuk menghentikan konsumsi levotiroksin.

Penghentian konsumsi levotiroksin ini dapat menimbulkan ketidaknyamanan pada pasien dengan menurunkan kualitas hidupnya. Selain itu, pasien yang memiliki penyakit lain, seperti penyakit jantung dan psikis, juga berisiko untuk terjadi komplikasi dengan memburuknya penyakit yang dideritanya tersebut. Pada kondisi pasien yang tidak dapat mentolerir kondisi hipotiroid seperti ini, dokter akan menyarankan opsi cara lain untuk meningkatkan kadar TSH tanpa harus menghentikan konsumsi levotiroksin, yaitu dengan memberikan TSH sintetis yang disebut recombinant human TSH (rhTSH).

rhTSH (yang dikenal dengan merk dagang Thyrogen®) merupakan senyawa protein sintetis yang memiliki bentuk kimia dan efek pada tubuh menyerupai TSH. rhTSH 0.9mg diberikan melalui suntikan pada otot sebanyak 2 kali dengan interval waktu 24 jam setiap suntikan. Iodium radioaktif dapat diberikan pada 24 jam setelah suntikan kedua rhTSH dan pemeriksaan tiroglobulin dapat dilakukan pada empat hari setelah suntikan pertama rhTSH. Untuk detil jadwal pemberian rhTSH dapat dilihat pada table di bawah ini.

Pemberian rhTSH disarankan untuk pasien kanker tiroid dengan risiko rendah tanpa ada metastasis yang tidak dapat mentolerir kondisi hipotiroid atau pada pasien yang memiliki penyakit lain yang berisiko. Pemberian rhTSH juga disarankan untuk pasien yang telah cukup lama menghentikan levotiroksin, namun kadar TSH sulit untuk meningkat dan tetap rendah sehingga tidak dapat dilakukan terapi RAI atau pemeriksaan tiroglobulin. Bukti klinis menyatakan bahwa pasien yang diberikan rhTSH memiliki kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan pasien yang menghentikan konsumsi levotiroksin sebelum menjalani terapi RAI dan pemeriksaan tiroglobulin. rhTSH meningkatkan kadar TSH tanpa harus menurunkan kualitas hidup pasien dan meningkatkan risiko komplikasi dari kondisi hipotiroid. rhTSH juga tidak mengganggu efektivitas terapi RAI dan akurasi pemeriksaan tiroglobulin. Tidak ada perbedaan yang bermakna dalam hal efektivitas terapi RAI dan akurasi pemeriksaan tiroglobulin pada pasien yang diberikan rhTSH dibandingkan dengan pasien yang menghentikan konsumsi levotiroksin.

Seperti obat lainnya, rhTSH memiliki efek samping, baik itu efek samping yang ringan dan sementara maupun efek samping yang serius. Efek samping serius sangat jarang terjadi yaitu gatal, kulit merah, sulit bernafas, suara serak, nyeri pada lokasi tumor, pusing, denyut jantung tidak stabil, dan kaki bengkak. Efek samping yang ringan, sementara, dan sering terjadi adalah sulit tidur, cemas, lelah, mual, dan hidung berair. Jika terjadi efek samping yang sangat berat segera sampaikan ke dokter yang merawat.

Tabel. Jadwal pemberian rhTSH
Hari 1
Hari 2
Hari 3
Hari 4
Hari 5
rhTSH
(disuntik di otot)
rhTSH
(disuntik di otot)
Iodium radioaktif (diminum)

-     WBS
-     Pemeriksaan tiroglobulin
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jumat

Sumber: ATA guideline, 2015

Selasa, 09 Oktober 2018

KANKER PAYUDARA: Kapan PET/CT FDG diperlukan?


Penentuan stadium pada kanker payudara, baik itu sebelum terapi maupun setelah terapi, sangat penting untuk dilakukan karena sangat menentukan penatalaksanaan pasien tersebut. Penentuan stadium pada kanker payudara dinilai berdasarkan karakteristik tumornya, seperti ukuran dan lokasinya, penyebaran ke kelenjar getah bening lokal maupun regional, dan penyebaran ke organ lain.
Selain itu, penilaian respon terapi juga perlu dilakukan sejak awal pemberian kemoterapi, karena dapat merubah penatalaksanaan pasien kanker payudara sejak awal. Penilaian respon kemoterapi sejak awal ini juga dilakukan untuk menghindari efek samping dan biaya yang tidak perlu untuk kemoterapi yang sejak awal diprediksi tidak akan efektif. Oleh sebab itu, pemeriksaan yang sangat akurat dan teliti penting dilakukan dalam menentukan stadium awal sebelum terapi, penilaian respon terhadap kemoterapi, maupun deteksi kekambuhan pada saat pemantauan.

Positron Emission Tomography (PET)/Computed Tomography merupakan salah satu modalitas molecular imaging (pencitraan molekuler) yang berperan penting dalam penentuan stadium penyakit kankerpencitraan molekuler) yang berperan penting dalam penentuan stadium penyakit kanker. PET/CT adalah kamera hybrid yang mengkombinasikan dua kamera, PET dan CT, menjadi satu modalitas pemeriksaan imaging. PET/CT menggunakan obat radioaktif FDG (2-[fluorine 18]fluoro-2-deoxy-D-glucose) yang disuntikan ke dalam tubuh dan diakumulasi di dalam sel, sehingga PET/CT FDG dapat menilai tingkat aktivitas metabolisme dari sel tersebut. FDG merupakan suatu senyawa gula yang memancarkan sinar gamma dan dapat direkam oleh kamera. Gambar yang dihasilkan PET dapat diproses menjadi gambar 3 dimensi untuk seluruh tubuh. Pada sel kanker, kebutuhan gula sangat tinggi untuk memenuhi energi sel kanker yang tumbuh sangat cepat sehingga metabolisme gula pada sel kanker akan menjadi tinggi. Mekanisme inilah yang menjadi dasar dari teknologi PET dengan menggunakan FDG sebagai obat radioaktif dalam mendeteksi adanya sel kanker.

PET/CT pada pemeriksaan awal kanker payudara1
Akumulasi FDG yang tinggi dapat meningkatkan kemampuan diagnostik dari PET/CT. Akumulasi FDG pada sel kanker payudara tergantung pada beberapa faktor terutama pada karakteristik jaringan dan biologis dari sel kanker payudara tersebut. Intensitas akumulasi FDG ini berhubungan erat dengan tipe kanker payudara yang agresif serta prognosis dan respon yang buruk terhadap pengobatan.

Tabel karakteristik akumulasi FDG pada kanker payudara
Akumulasi FDG Tinggi
Akumulasi FDG Rendah
Ductal (median SUV 6.6)
Lobular (median SUV 3.4)
Metaplastic (median SUV 1.9)

Ki-67 (indeks proliferasi) tinggi
Ki-67 rendah
Reseptor estrogen/progesteron (-)
Reseptor estrogen/progesteron (+)
Triple-negative breast cancer

p53 positive
p53 negative
Grade 3 (SUV 9.7)
Grade 1-2 (SUV: 4.8)
Dimodifikasi dari Groheux D, Espié M, Giacchetti S, Hindié E. Performance of FDG PET/CT in the Clinical Management of Breast Cancer. Radiology. 2013;266(2):388-405

PET/CT FDG memiliki keterbatasan untuk membedakan tumor payudara ganas dengan jinak, terutama pada tumor berukuran kecil. Akumulasi FDG tidak hanya dapat terlihat pada keganasan tapi juga pada proses inflamasi. Walaupun beberapa ahli menyampaikan bahwa kemampuan diagnostik PET/CT FDG dalam membedakan tumor ganas dengan jinak dapat meningkat dengan metode dual-time imaging. Scanning delayed pada metode ini dilakukan saat 2 jam setelah penyuntikan FDG. Pada tumor ganas, akumulasi FDG akan terus meningkat, sedangkan pada lesi inflamasi akumulasi FDG akan cenderung stabil atau menurun. Namun, manfaat metode dual-time imaging ini masih memerlukan konfirmasi dengan data klinis yang lebih besar.
PET/CT juga memiliki keterbatasan dalam penentuan batas dan ukuran tumor payudara. Magnetic Resonance Imaging (MRI) memiliki kemampuan diagnosa yang lebih baik dibandingkan dengan PET/CT dalam menentukan pasien yang memerlukan tindakan operasi payudara radikal.
PET/CT FDG tidak dapat menggantikan biopsi dalam penegakkan diagnosis kanker payudara. Namun, PET/CT FDG dapat mengarahkan target lokasi untuk biopsi. PET/CT FDG juga kurang baik dalam mendeteksi keterlibatan kelenjar getah bening lokal di pada kanker payudara. PET/CT FDG tidak dapat menggantikan posisi sentinel node biopsy dalam menentukan keterlibatan kelenjar getah bening lokal. Ultrasonongrafi (USG) dan MRI memiliki kemampuan diagnostik yang lebih baik dalam mendeteksi keterlibatan kelenjar getah bening pada kanker payudara.
PET/CT FDG bermanfaat dalam penilaian tumor payudara berukuran besar (tumor > 3cm atau stadium IIB ke atas) karena memiliki kelebihan dalam mendeteksi metastasis jauh pada organ lain. PET/CT juga mampu mendeteksi kelenjar getah bening lain di luar aksila dan mamaria interna, yang dapat mempengaruhi stadium dan pilihan terapi awal.
PET/CT sangat penting dalam menentukan stadium awal pada kanker payudara terutama dalam menentukan keberadaan metastasis jauh di organ lain. PET/CT memiliki keunggulan dalam mendeteksi lesi osteolitik dari metastasis tulang, walaupun tidak dapat menyingkirkan kemungkinan metastasis tulang pada lesi osteoblastik yang tidak menangkap FDG. Oleh sebab itu, osteoblastic mapping dengan bone scan tetaplah diperlukan pada pasien kanker payudara. Karena akumulasi FDG fisiologis yang tinggi di otak sehingga menyulitkan dalam penilaian metastasis otak dari PET/CT FDG. MRI lebih disarankan untuk penilaian metastasis di otak. Nodul di bawah 1-cm dan pergerakan pernafasan juga dapat membuat PET/CT FDG kurang sensitif dalam mendeteksi metastasis di paru. Teknik scanning standard untuk CT thorak perlu dilakukan pada pasien yang dicurigai memiliki metastasis paru.

PET/CT pada pemantauan kanker payudara
Setelah pengobatan, pasien kanker payudara akan dicurigai mengalami kekambuhan berdasarkan tanda dan gejala klinis, pemeriksaan imaging, dan penanda tumor (kadar Ca 15-3 dan CEA dalam darah). PET/CT FDG sangat bermanfaat dalam mendeteksi kekambuhan dan menentukan ulang stadium kanker payudara. PET/CT FDG lebih baik dibandingkan modalitas imaging konvensional lainnya (CT, bone scan, dan USG) dalam mendeteksi kekambuhan lokal regional maupun metastasis jauh dengan tingkat akurasi sebesar 60 – 98%. Kemampuan yang baik dari PET/CT FDG ini dapat merubah tatalaksana pasien kanker payudara yang tidak memiliki tanda dan gejala untuk kekambuhan namun memiliki kadar penanda tumor yang meningkat. PET/CT FDG mampu mendeteksi kekambuhan lebih awal dari modalitas imaging konvensional lainnya.

PET/CT FDG interim untuk memprediksi keberhasilan kemoterapi pada kanker payudara
Kemoterapi merupakan salah satu pilihan pengobatan kanker payudara. Kemoterapi adjuvan diberikan setelah operasi tumor payudara untuk membersihkan sel kanker yang tersisa. Kemoterapi neoadjuvan merupakan terapi pilihan pertama pada pasien kanker payudara yang tidak dapat dioperasi atau kanker payudara dengan inflamasi. Kemoterapi neoadjuvan juga dapat diberikan pada kanker payudara yang dapat dioperasi namun berukuran besar, dengan tujuan untuk mempertahankan bentuk payudara seoptimal mungkin. Keberhasilan dari kemoterapi ini berkaitan dengan perbaikan angka survival kanker payudara. Oleh sebab itu, keberhasilan dari kemoterapi harus dapat diprediksi sejak awal pemberian kemoterapi sehingga dapat merubah strategi pengobatan sejak awal jika kemoterapi neoadjuvan dinilai tidak akan efektif.
PET/CT FDG merupakan modalitas molecular imaging seluruh tubuh yang menilai tingkat aktivitas metabolisme (SUVmax) pada sel. Pada kemoterapi neoadjuvan yang efektif, maka akan terjadi penurunan aktivitas metabolisme lebih awal dibandingkan perubahan pada ukuran tumor, bahkan pada beberapa tumor dapat tidak mengalami perubahan ukuran walaupun secara metabolisme sudah tidak aktif lagi. PET/CT FDG interim yang dilakukan setelah 1-2 siklus kemoterapi neoadjuvan bertujuan tidak hanya untuk menilai efektivitas terapi tapi juga untuk memprediksi keberhasilannya. SUVmax pada PET/CT FDG interim akan dibandingkan dengan PET/CT FDG praterapi, respon parsial dari kemoterapi neoadjuvan terjadi jika penurunan SUVmax lebih dari 25%. PET/CT FDG interim ini akan sangat bermanfaat jika dilakukan pada tumor payudara praterapi dengan SUVmax yang tinggi, karena aktivitas metabolik yang rendah pada tumor praterapi merupakan indikator resistensi dari kemoterapi.

PET/CT FDG untuk menilai keberhasilan terapi hormonal
Ada suatu fenomena yang berbeda ketika PET/CT FDG digunakan untuk menilai keberhasilan terapi hormonal pada kanker payudara. Fenomena ini disebut sebagai fenomena metabolic flare, dimana terjadi peningkatan aktivitas metabolisme pada beberapa hari pertama setelah terapi hormonal. Hal ini merupakan indikator yang baik terhadap respon terapi hormonal. Hal ini disebabkan karena terapi hormonal memiliki efek agonis yang muncul terlebih dahulu sebelum efek antogonis terhadap sel kanker.

Nilai prognosis PET/CT FDG pada pengobatan kanker payudara
Berdasarkan beberapa laporan penelitian yang menyebutkan bahwa, semakin tinggi nilai SUVmax dari tumor payudara praterapi, maka semakin buruk prognosis dari pasien tersebut. Hal ini dapat disebabkan karena nilai SUVmax berbanding lurus dengan tingkat derajat histopatologi dari kanker payudara. Walaupun sayangnya, belum ada kesepakatan mengenai batas nilai SUVmax untuk membedakan SUVmax rendah dan tinggi.
Begitu pula dengan penurunan nilai SUVmax pada saat penilaian respon kemoterapi dengan PET/CT FDG. Pasien yang berespon baik terhadap kemoterapi dan mengalami penurunan nilai SUVmax yang cukup signifikan akan memiliki angka survival yang lebih baik dibandingkan pasien yang tidak berespon baik terhadap kemoterapi dan tidak mengalami penurunan nilai SUVmax.

Prosedur Pemeriksaan PET/CT FDG
Sebelum pemeriksaan PET/CT FDG pasien diminta untuk puasa selama paling kurang 6 sampai 8 jam sebelum pemeriksaan. Pasien masih diperbolehkan untuk mengkonsumsi air mineral dan disarankan untuk sering minum selama hari pemeriksaan. Pada pasien yang terpasang infus berisi cairan nutrisi disarankan untuk mengganti cairan infus dengan cairan yang tidak mengandung gula. Hal ini dilakukan agar gula darah pada saat pemeriksaan tidak lebih dari 200 mg/dL. Sebelum penyuntikan obat radioaktif FDG, pasien akan diberikan obat untuk merelaksasikan otot-otot saluran pencernaan, kecuali bila terdapat kontraindikasi. Penyuntikan obat radioaktif FDG akan dilakukan melalui pembuluh darah vena pada saat 1 jam sebelum pencitraan (scanning). Setelah penyuntikan obat radioaktif FDG pasien diminta untuk beristirahat di ruangan khusus yang telah dipersiapkan dan tidak beraktivitas kecuali minum air mineral yang telah disediakan. Scanning dilakukan seluruh tubuh mulai dari ujung kepala sampai lutut atau ujung kaki. Lama scanning kurang lebih 15 sampai 20 menit dan bila diperlukan dapat dilakukan 2 kali scanning. Selama scanning pasien dapat tetap bernafas dengan normal namun diminta untuk tidak bergerak. Setelah scanning selesai, pasien dapat makan kembali seperti biasa. Analisa hasil oleh tim kedokteran nuklir membutuhkan waktu kurang lebih 2 hari setelah pemeriksaan PET/CT FDG.

Kesimpulan
PET/CT FDG sangat bermanfaat dalam penentuan stadium ulang pada pasien yang mengalami kekambuhan atau dicurigai mengalami kekambuhan dari kanker payudara. PET/CT FDG juga berperan cukup penting dalam penentuan stadium awal pada pasien kanker payudara yang dicurigai sudah dengan stadium lanjut atau kanker payudara dengan inflamasi. PET/CT FDG mampu mendeteksi metastasis kelenjar getah bening dan metastasis di organ lain lebih baik dibandingkan modalitas imaging lainnya. PET/CT sangat baik digunakan untuk menilai dan memprediksi respon terapi, karena dapat menilai perubahan tingkat aktivitas metabolisme yang terjadi lebih awal dibandingkan perubahan ukuran tumor. Walaupun demikian PET/CT FDG memiliki kelemahan dalam mendeteksi tumor dengan ukuran kecil (< 1 cm). PET/CT juga tidak dapat menggantikan peran biopsi dalam membedakan tumor ganas dan jinak. PET/CT FDG tidak disarankan pada pasien kanker payudara yang dicurigai masih stadium awal.

REFERENSI
1.         Groheux D, Espié M, Giacchetti S, Hindié E. Performance of FDG PET/CT in the Clinical Management of Breast Cancer. Radiology. 2013;266(2):388-405. doi:10.1148/radiol.12110853



Senin, 19 Maret 2018

Mengapa Perlu Terapi Radio-Ablasi Setelah Operasi Kanker Tiroid ?

Oleh: Ryan Yudistiro dan Retnowati

Terapi Radio-Ablasi dengan Iodium radioaktif (RAI) diberikan kepada pasien kanker tiroid berdiferensiasi baik (KTB) setelah 4-6 minggu operasi pengangkatan seluruh kelenjar tiroid. RAI diberikan berdasarkan penilaian tingkat risiko dari kekambuhan pada saat sebelum dan sesudah operasi (baca juga: tingkat risiko pada kanker tiroid). Secara umum RAI diberikan dengan tujuan sebagai berikut:

  1. Sebagai terapi pembersihan sisa jaringan tiroid. Untuk memfasilitasi deteksi awal dari kekambuhan dengan pemeriksaan laboratorium Tg dan AbTg atau Whole Body scan (WBS), maka sisa-sisa jaringan tiroid dan KTB perlu dibersihkan dengan terapi RAI.
  2. Sebagai terapi tambahan setelah operasi. Dengan menghancurkan sisa-sisa jaringan tiroid yang secara teori akan menurunkan risiko terjadinya kekambuhan terutama pada pasien dengan risiko menengah dan tinggi.
  3. Sebagai terapi utama dari pasien dengan sisa kanker yang menetap. Terapi RAI diyakini dapat memperbaiki angka harapan hidup dan menurunkan risiko kekambuhan pada pasien KTB.

Hal lain yang perlu dipertimbangkan sebelum RAI dilakukan adalah penyakit penyerta atau potensi komplikasi terkait dosis RAI atau persiapan sebelum RAI. Pada pasien usia lanjut atau pasien dengan penyakit lain perlu dinilai apakah pasien tersebut mampu untuk menjalani terapi RAI dan tinggal di dalam ruang isolasi selama beberapa hari. Pada dosis tinggi RAI, akan meningkatkan risiko untuk terjadi komplikasi penekanan fungsi sumsum tulang, apalagi pada pasien yang sudah menerima total dosis akumulasi lebih dari 1,000 mCi, maka pemberian RAI perlu dipertimbangkan risiko dan manfaatnya pada pasien tersebut.

Terapi RAI pada pasien risiko rendah merupakan pilihan pasien, karena tidak ada data yang mendukung bahwa terapi RAI akan memberikan manfaat yang signifikan, sehingga penanganan pasien dengan risiko rendah dapat dilakukan tanpa terapi RAI. Pemantauan pada pasien risiko rendah juga tidak memerlukan WBS, cukup USG leher dan pemeriksaan laboratorium Tg dan AbTg tanpa perlu puasa hormon tiroid. Angka kematian terkait KTB pada pasien risiko rendah, sekitar 3%, walaupun tanpa terapi RAI.

Berbeda dengan pasien risiko rendah, terapi RAI setelah operasi dapat memperbaiki angka harapan hidup dan risiko kekambuhan pada pasien dengan risiko menengah (intermediate). Yang termasuk ke dalam golongan pasien risiko menengah ini antara lain pasien dengan tipe jaringan yang agresif (tall cell, diffuse sclerosing, dan varian insular), pasien dengan ukuran tumor >4cm dan menginvasi keluar kelenjar tiroid, pasien dengan metastasis kelenjar getah bening leher. Namun, terapi RAI ternyata tidak memberikan manfaat yang bermakna pada pasien risiko menengah dengan usia <45 tahun, dan lebih bermakna pada pasien dengan usia >45 tahun. Oleh sebab itu pasien dengan usia <45 tahun biasanya dimasukkan ke dalam golongan risiko rendah.

Dari banyak hasil penelitian yang dengan sangat jelas menunjukkan  bahwa terapi RAI setelah operasi sangat bermanfaat dalam memperbaiki angka harapan hidup dan menurunkan risiko kekambuhan pada pasien dengan risiko tinggi. Terapi RAI dapat memperbaiki angka harapan hidup pada pasien dengan metastasis jauh berusia >45 tahun, ukuran tumor >2cm, dan metastasis kelenjar getah bening. Terapi RAI sangat direkomendasikan untuk pasien dengan risiko rendah setelah operasi.

Sumber: ATA guideline 2015; rekomendasi 51

Rabu, 14 Maret 2018

Targeted Radioimmunotherapy (TRIT) pada Keganasan Tiroid Meduler (KTM)

Abstrak
Keganasan tiroid meduler (KTM) adalah keganasan yang berasal dari sel parafolikuler C kelenjar tiroid dan mensekresikan kalsitonin, carcinoembryonic antigen (CEA), serotonin, dan kromaganin A secara berlebihan. Hingga saat ini, belum ada terapi sistemik yang digunakan secara luas dan rutin pada KTM stadium lanjut dengan metastasis. Kemoterapi tidak menunjukkan data hasil terapi yang efektif, bahkan memiliki toksisitas yang berat. Targeted Radioimmunotherapy (TRIT) adalah kombinasi terapi menggunakan antibodi berlabel radioisotop. TRIT dengan teknik pretarget menunjukkan respon terapi dan angka survival yang baik pada pasien KTM stadium lanjut dengan metastasis.
Kata kunci: Keganasan tiroid meduler (KTM); Targeted Radioimmunotherapy (TRIT); Kemoterapi

Pendahuluan
Keganasan tiroid meduler (KTM) adalah keganasan yang berasal dari sel parafolikuler C kelenjar tiroid. KTM mensekresikan berbagai macam protein dan hormon secara berlebihan, termasuk kalsitonin, carcinoembryonic antigen (CEA), serotonin, dan kromaganin A yang digunakan sebagai penanda biologis untuk diagnostik dan prognostik. KTM meliputi 3-4% dari seluruh keganasan tiroid yang 20% di antaranya bersifat herediter yang berhubungan dengan mutasi genetik.1,2
Pemeriksaan imunohistokimia merupakan pemeriksaan standar pada diagnosa KTM. Ultrasonografi (USG) menilai karakteristik benjolan di leher atau kelenjar tiroid dan meningkatkan nilai akurasi dari aspirasi biopsi jarum halus. Computed Tomography (CT) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) memberikan informasi anatomi yang lebih jelas dibandingkan USG leher.2 2-fluoro-2-deoxy-D-glucose (FDG) positron emission tomography (PET)/CT (FDG PET/CT) memberikan nilai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dalam penentuan stadium dan pemantauan serta mendeteksi lebih banyak lesi patologis dibandingkan metode pemeriksan lainnya.3,4
KTM dapat bersifat indolen dan stabil selama beberapa tahun, atau berkembang progresif dengan sangat cepat dan berisiko tinggi pada kematian. Terapi utama untuk KTM adalah tiroidektomi total dengan diseksi luas kelenjar getah bening. KTM stadium awal tanpa metastasis memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan KTM stadium lanjut dengan metastasis. Terapi sistemik yang efektif untuk KTM stadium lanjut dengan metastasis masih terbatas, namun beberapa metode terapi yang spesifik muncul dengan hasil yang menjanjikan.2 Doubling time (DT) kalsitonin adalah interval waktu yang diperlukan oleh kalsitonin untuk meningkat sebanyak dua kali lipat dan digunakan sebagai faktor prediktor independen untuk prognosis KTM. DT kalsitonin kurang dari 2 tahun memiliki prognosis yang buruk sehingga memerlukan terapi sistemik yang agresif, sedangkan DT kalsitonin lebih dari 5 tahun memiliki prognosis dan angka harapan hidup yang lebih baik.5 

Targeted Radioimmunotherapy (TRIT)
Targeted Radioimmunotherapy (TRIT) adalah kombinasi terapi menggunakan antibodi berlabel radioisotop. Antibodi membawa radioisotop spesifik ke target reseptor/protein antigen di tumor. Energi radiasi yang dipancarkan oleh radioisotop akan merusak rantai ganda DNA secara mekanik dan memicu kematian sel melalui proses apoptosis yang dikenal sebagai cross-fire effect. Food and Drugs Association (FDA) telah menyetujui penggunaan Y-90 ibritumomab tiuxetan pada tahun 2002 dan I-131 tositumomab pada tahun 2003 untuk terapi limfoma. TRIT pada limfoma ini menggunakan anti-CD20 monoclonal antibody.5,6
Ada tiga jenis radioisotop yang digunakan untuk terapi, yaitu partikel beta, partikel alfa, dan auger electron. Radioisotop partikel beta, seperti I-131, Y-90, dan Lu-177, paling sering digunakan karena mudah diperoleh. Walaupun energi radiasi partikel beta lebih kecil dibandingkan energi radiasi partikel alfa maupun auger electron, namun jarak penetrasinya yang panjang  membuat partikel beta efektif untuk tumor berukuran besar. Radioisotop partikel alfa, seperti Bi-223, memiliki energy radiasi yang tinggi dengan jarak penetrasi yang pendek, membuat partikel alfa efektif untuk terapi tumor berukuran kecil. Radioisotop auger electron, seperti I-125, memiliki energi radiasi yang rendah dan jarak penetrasi yang pendek, membuat auger electron juga berpotensi untuk digunakan sebagai TRIT.7
Berdasarkan ukurannya, antibodi yang terbesar adalah IgG dengan ukuran ± 150 kD dan antibodi fragmen merupakan antibodi yang sudah dimodifikasi menjadi berukuran lebih kecil dari IgG. Antibodi berukuran kecil lebih sesuai jika digunakan untuk radioimmunoscintigraphy (RIS) karena akan cepat terakumulasi pada tumor, sedangkan antibodi berukuran lebih besar lebih sesuai jika digunakan untuk TRIT karena akan terakumulasi lebih lama pada tumor.7
Metode pretarget digunakan untuk menurunkan risiko toksisitas dan meningkatkan efektivitas TRIT. Metode pretarget ini dilakukan dengan cara memberikan senyawa protein atau antibodi termodifikasi terlebih dahulu sebelum pemberian radioisotop. Metode ini dapat meningkatkan dosis serap radiasi dari tumor dan laju bersihan antibodi berlabel radioisotop dari dalam darah. Ada tiga jenis metode pretarget, yaitu dengan menggunakan antibodi yang memiliki dua tempat ikatan antigen atau dikenal sebagai antibodi bispesifik. Berikutnya, dengan menggunakan biotin dan avidin/streptavidin yang dikonjugasikan dengan antibodi dan dilabelkan dengan radioisotop. Terakhir, dengan menggunakan oligonukleotida yang spesifik berpasangan dan dikonjugasikan dengan antibodi dan dilabelkan dengan radioisotop.8,9

Targeted Radioimmunotherapy (TRIT) pada KTM
I-131 metaiodibenzylguanitidine (MIBG) dan Y-90 DOTATOC sudah dulu digunakan sebagai TRIT pada KTM. MIBG merupakan analog dari norepinefrin yang tansporternya banyak diekspresikan oleh KTM dan keganasan neuroendokrin lainnya atau dikenal sebagai MEN (Multiple Endocrine Neoplasm) syndrome. Sedangkan Y-90 DOTATOC merupakan analog somatostatin yang juga banyak diekspresikan oleh KTM. MIBG dan DOTATOC berlabel radioisotope merupakan alternatif pengobatan pada KTM yang tidak berespon terhadap pengobatan konvensional.
CEA diekspresikan secara berlebihan oleh KTM dan beberapa tumor padat lainya, seperti keganasan paru, pleura, kolon, dan rektum. Pada uji klinis fase 1 menggunakan antibodi fragmen (fab')2 anti-CEA berlabel I-131, sepuluh dari dua belas pasien mengalami kondisi yang stabil selama 1 sampai 16 bulan, 1 pasien dengan respon parsial, dan 1 pasien lainnya dengan respon minimal. Supresi sumsum tulang merupakan toksisitas yang membatasi pemberian dosis tinggi TRIT, walaupun sudah dikombinasikan dengan terapi stem cell hematopoeitik autologues.10
Pada uji praklinis menggunakan teknik pretarget antibodi bispesifik, anti-CEA x anti-DTPA (diethylen triamine pentaacetic acid) dan di-DTPA berlabel I-131, menunjukkan toksisitas yang lebih rendah dengan tingkat efektifitas yang relatif sama dengan TRIT tanpa pretarget.11 Pada uji klinis fase 1/2 yang dilakukan eskalasi dosis menggunakan 20-50 mg BsmAb dan 1.5 - 3.7 GBq DTPA berlabel I-131 diberikan dengan interval waktu 4 hari. Dosis radioaktivitas maksimal 1.8 GBq/m2 menunjukkan efek paliatif dan respon parsial minimal dengan penurunan penanda tumor pada pasien KTM stadium lanjut dengan metastasis. Toksisitas hematologi membatasi pemberian dosis  radioaktivitas yang lebih tinggi.12
Antibodi yang berasal dari manusia atau yang sebagian besar dari manusia (humanized atau chimeric) diperlukan pada TRIT untuk menghindari reaksi imun di dalam tubuh yang dapat mengurangi kemampuan antibodi berikatan dengan antigen. Reaksi imun ini sering ditemukan jika menggunakan antibodi yang berasal dari hewan. Pada uji klinis fase 1 yang dilakukan eskalasi dosis BsmAb hMN-14 (humanized anti-CEA antibody) dan DTPA berlabel I-131 diperoleh dosis optimal BsmAb adalah 40mg/m2 dengan interval waktu pemberian pretarget adalah 5 hari. Hasil penelitian menunjukkan 45% tumor dalam kondisi stabil secara klinis selama 1 tahun pemantauan.13 Angka survival secara signifikan lebih panjang ditemukan pada pasien yang memiliki risiko tinggi (DT kalsitonin  2 tahun) dan mendapatkan TRIT dibandingkan pasien yang tidak mendapatkan TRIT (110 bulan vs 61 bulan). Pasien yang berespon baik memiliki angka survival yang signifikan lebih panjang dibandingkan dengan yang tidak berespon baik terhadap TRIT (159 bulan vs 109 bulan).14
Untuk meningkatkan efektivitas kemoterapi pada terapi KTM, penelitian praklinis yang mengkombinasikan TRIT dengan obat kemoterapi (seperti doxorubicin, dacarbazine, cyclophosphamide, dan vincristine) menunjukkan hasil yang lebih superior dibandingkan hanya kemoterapi saja. Humanized CEA-monoclonal antibody MN-14 berlabel Y-90 diberikan 24 jam sebelum obat kemoterapi. DT volume tumor meningkat hingga 100% pada tikus yang diberikan terapi kombinasi TRIT dan kemoterapi.15 Pada uji klinis fase 1, terapi kombinasi TRIT dan doxorubicin dan stem cell darah perifer menunjukkan toksisitas yang ringan dan reversible. Dua dari lima belas pasien mengalami respon minimal dan 1 pasien mengalami respon parsial.16

Simpulan
Hingga saat ini, belum ada terapi sistemik yang digunakan secara luas dan rutin pada KTM stadium lanjut dengan metastasis. Kemoterapi tidak menunjukkan data hasil terapi yang efektif, bahkan memiliki toksisitas yang berat. Saat ini hanya TRIT dengan teknik pretarget menunjukkan respon terapi dan angka survival yang baik pada pasien KTM stadium lanjut dengan metastasis. Penelitian praklinis dan uji klinis lebih lanjut dengan jumlah subjek lebih besar masih perlu dilakukan untuk mengkonfirmasi efektivitas dari TRIT pada KTM.

Referensi
1.        Maxwell JE, Sherman SK, O’Dorisio TM, Howe JR. Medical management of metastatic medullary thyroid cancer. Cancer. 2014;120(21):3287-3301. doi:10.1002/cncr.28858.
2.        Roy M, Herbert C, Rebecca S. Sippel. Current Understanding and Management of Medullary Thyroid Cancer. Oncologist. 2013;18:1093-1100. doi:10.1634/theoncologist.2010-0259.
3.        Diehl M, Risse JH, Brandt-Mainz K, et al. Fluorine-18 fluorodeoxyglucose positron emission tomography in medullary thyroid cancer: Results of a multicentre study. Eur J Nucl Med. 2001;28(11):1671-1676. doi:10.1007/s002590100614.
4.        Brandt-Mainz K, Müller SP, Görges R, Saller B, Bockisch  a. The value of fluorine-18 fluorodeoxyglucose PET in patients with medullary thyroid cancer. Eur J Nucl Med. 2000;27(5):490-496.
5.        Kraeber-Bodéré F, Goldenberg DM, Chatal JF, Barbet J. Pretargeted radioimmunotherapy in the treatment of metastatic medullary thyroid cancer. Curr Oncol. 2009;16(5):3-8.
6.        Kraeber-Bodéré F, Salaun PY, Oudoux A, Goldenberg DM, Chatal JF, Barbet J. Pretargeted radioimmunotherapy in rapidly progressing, metastatic, medullary thyroid cancer. Cancer. 2010;116(SUPPL. 4):1118-1125. doi:10.1002/cncr.24800.
7.        Goldenberg DM, Sharkey RM, Paganelli G, Barbet J, Chatal JF. Antibody pretargeting advances cancer radioimmunodetection and radioimmunotherapy. J Clin Oncol. 2006;24(5):823-834. doi:10.1200/JCO.2005.03.8471.
8.        Kraeber-Bodéré F, Rousseau C, Bodet-Milin C, et al. A pretargeting system for tumor PET imaging and radioimmunotherapy. Front Pharmacol. 2015;6(MAR):1-9. doi:10.3389/fphar.2015.00054.
9.        Frampas E, Rousseau C, Bodet-Milin C, Barbet J, Chatal J-F, Kraeber-Bodéré F. Improvement of radioimmunotherapy using pretargeting. Front Oncol. 2013;3(June):159. doi:10.3389/fonc.2013.00159.
10.      Juweid ME, Hajjar G, Stein R, et al. Initial experience with high-dose radioimmunotherapy of metastatic medullary thyroid cancer using 131I-MN-14 F(ab)2 anti-carcinoembryonic antigen MAb and AHSCR. J Nucl Med. 2000;41(1):93-103. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10647610.
11.      Kraeber-Bodéré F, Faivre-Chauvet A, Saï-Maurel C, et al. Toxicity and Efficacy of Radioimmunotherapy in Carcinoembryonic Antigen-producing Medullary Thyroid Cancer Xenograft: Comparison of Iodine 131-labeled F(ab′)2 and Pretargeted Bivalent Hapten and Evaluation of Repeated Injections. Clin Cancer Res. 1999;5(10):3183-3190.
12.      Kraeber-Bodere F, Bardet S, Hoefnagel CA, et al. Radioimmunotherapy in medullary thyroid cancer using bispecific antibody and iodine 131-labeled bivalent hapten: Preliminary results of a phase I/II clinical trial. Clin Cancer Res. 1999;5(10 SUPPL.):3190s-3198s. http://www.embase.com/search/results?subaction=viewrecord&from=export&id=L29493915%5Cnhttp://sfx.library.uu.nl/utrecht?sid=EMBASE&issn=10780432&id=doi:&atitle=Radioimmunotherapy+in+medullary+thyroid+cancer+using+bispecific+antibody+and+iodine+131-labeled+.
13.      Vuillez J, Devillers A. Pretargeted Radioimmunotherapy Using a Chimeric Bispecific Antibody and 131 I-Labeled Bivalent Hapten in a Phase I Optimization Clinical Trial. Response.:247-255.
14.      Chatal JF, Campion L, Kraeber-Bodéré F, et al. Survival improvement in patients with medullary thyroid carcinoma who undergo pretargeted anti-carcinoembryonic-antigen radioimmunotherapy: A collaborative study with the French endocrine tumor group. J Clin Oncol. 2006;24(11):1705-1711. doi:10.1200/JCO.2005.04.4917.
15.      Stein R, Chen S, Reed L, Richel H, Goldenberg DM. Combining radioimmunotherapy and chemotherapy for treatment of medullary thyroid carcinoma: Effectiveness of dacarbazine. Cancer. 2002;94(1):51-61. doi:10.1002/cncr.10157.
16.      Sharkey RM, Hajjar G, Yeldell D, et al. Labeled Humanized Anti-CEA Monoclonal Antibody with Doxorubicin and Peripheral Blood Stem Cell Rescue in Advanced Medullary Thyroid Cancer. 2005;46(4):620-633.