Kamis, 20 Desember 2018

TERAPI KEDOKTERAN NUKLIR UNTUK PENDERITA LIMFOMA NON-HODGKIN

dr. Ryan Yudistiro, SpKN, FANMB, PhD

Limfoma non-hodgkin adalah salah satu keganasan kelenjar getah bening yang banyak diderita oleh orang dewasa. Walapun dalam beberapa tahun belakangan ini, jumlah penderitanya cenderung stabil dan angka kematiannya cenderung menurun, namun banyak penderita limfoma dengan risiko menengah-tinggi mengalami kekambuhan dan perburukan dari penyakitnya.

Berbagai pilihan metode terapi dilakukan untuk meningkatkan respon terapi serta memperpanjang lama bebas penyakit dan harapan hidup. Pilihan metode terapi yang saat ini dapat diberikan pada penderita limfoma adalah kemoterapi, imunoterapi dengan antibodi, terapi radiasi, radioimunoterapi, dan transplantasi stem cell.

Radioimunoterapi adalah kombinasi terapi dengan menggunakan antibodi yang ditempelkan dengan radioaktif. Antibodi akan diberikan ke dalam aliran darah dan membawa radioaktif yang memancarkan energi radiasi spesifik menuju target pada sel tumor. Energi radiasi tersebut akan merusak rantai ganda DNA dan memicu kematian sel. Energi radiasi tidak hanya membunuh sel yang terikat dengan antibodi, tapi juga sel tumor lainnya yang tidak terikat dengan antibodi, sepanjang masih berada pada jarak penetrasi dari radioaktif tersebut. Fenomena ini disebut cross-fire effect yang menjadi mekanisme dasar dari radioimunoterapi.

Gambar 1. Mekanisme dasar radioimunoterapi

Limfoma non-hodgkin berasal dari sel darah putih tipe B dan T yang tumbuh secara tidak normal. Sebagian besar penderita limfoma non-hodgkin berasal dari sel tipe B yang banyak mengekspresikan reseptor CD20 (lebih dari 90%). Reseptor CD-20 ini yang menjadi target antigen dari antibodi-antiCD20, seperti Ibritumomab atau Rituximab. Dengan menempelkan antibodi tersebut dengan radioaktif, maka radioimunoterapi ini akan sangat efektif dan spesifik membunuh sel limfoma. 

Radioimunoterapi diberikan pada penderita yang mengalami kekambuhan atau penderita yang tidak merespon terhadap pengobatan yang standar. Radioimunoterapi ini juga efektif sebagai terapi konsolidasi dalam meningkatkan keberhasilan terapi pada penderita yang baru pertama kali diberikan kemoterapi. Namun demikian, terapi ini tidak dapat diberikan pada penderita yang hamil dan menyusui, anak usia di bawah 18 tahun, riwayat alergi terhadap ibritumomab atau rituximab, penderita yang terdapat keterlibatan sumsum tulang lebih dari 25%, penderita dengan jumlah sel darah sumsum tulang yang tersupresi, penderita yang pernah melakukan radioterapi dan transplantasi stem-sel.

Setelah penderita memenuhi kriteria persyaratan pemberian radioimunoterapi, penderita akan diberikan antibodi tanpa radioaktif (rituximab) dosis rendah dengan tujuan untuk menutup reseptor CD20 pada sel-B yang normal. Tujuan lain dari pemberian rituximab ini adalah untuk meningkatkan jumlah antibodi yang spesifik menempel pada sel tumor. Minimal 7 hari kemudian, rituximab dosis rendah kembali diberikan yang kemudian dilanjutkan oleh pemberian radioimunoterapi dengan interval waktu 4 jam setelah pemberian rituximab tersebut. Dosis radioimunoterapi diberikan berdasarkan berat badan dan kadar trombosit penderita. Pada penderita dengan nilai trombosit > 150,000 maka dosis radioimunoterapi yang diberikan adalah 0.4mCi/kgBB, sedangkan penderita dengan nilai trombosit antara 100,000 – 150,000 maka dosis radioimunoterapi adalah 0.3mCi/kgBB. Dosis maksimal radioimunoterapi yang dapat diberikan adalah 32mCi.


Gambar 2. Protokol pemberian radioimunoterapi. RIT = radioimunoterapi.

Radioimunoterapi sangat efektif diberikan pada penderita yang mengalami kekambuhan atau tidak berespon dengan terapi standard dan sebagai terapi konsolidasi pada penderita yang berespon dengan kemoterapi. Radioimunoterapi menunjukkan nilai keberhasilan terapi yang lebih tinggi dibandingkan terapi standar dengan penderita yang mengalami complete response juga lebih tinggi. Radioimunoterapi terbukti dapat memperpanjang waktu bebas perburukan penyakit (progression-free survival) dan harapan hidup (overall-survival) yang lebih panjang dari terapi standard. Keberhasilan terapi dinilai berdasarkan pemeriksaan klinis dan perbandingan PET/CT FDG sebelum terapi dan 3 bulan setelah terapi.

Gambar 3. Contoh kasus penderita yang mengalami complete response setelah RIT. PET/CT sebelum RIT (kiri), PET/CT 3 bulan sesudah RIT (kanan)

Seperti halnya terapi yang lain, radioimunoterapi juga memiliki keterbatasan dalam hal toksisitas atau efek samping. Efek samping dari radioimunoterapi dapat terjadi pada fase awal maupun fase lambat. Pada fase awal setelah pemberian radioimunoterapi, efek samping yang paling menonjol adalah menurunnya nilai sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit pada 4-6 minggu setelah radioimunoterapi yang akan kembail ke nilai normal setelah beberapa minggu. Efek samping fase awal lainnya adalah lemas, mual, muntah, demam, sakit kepala, gatal, batuk, tenggorokan gatal, dan pusing yang biasanya bersifat ringan dan sementara.

Sedangkan efek samping lambat yang bisa terjadi setelah beberapa bulan pemberian radioimunoterapi adalah timbul keganasan kedua selain limfoma non-hodgkin. Keganasan kedua tersebut dapat berupa keganasan darah atau keganasan lainnya. Namun, jumlah penderita yang mengalami keganasan kedua ini masih relatif rendah dan juga dapat terjadi pada penderita yang diberikan terapi lain. Faktor yang dapat digunakan untuk memprediksi terjadinya keganasan kedua ini adalah keterlibatan sumsum tulang. Oleh sebab itu, radioimunoterapi sebaiknya diberikan pada penderita yang tidak memiliki keterlibatan sumsum tulang.

Keterbatasan yang lain dari radioimunoterapi ini adalah masalah biaya yang masih relatif mahal. Di Amerika Serikat harga radioimunoterapi ini sekitar 50,000 US$, sedangkan di Jepang harganya sekitar 40,000 US$ dan  di eropa sekitar 17,500. Meskipun demikian, dari analisa biaya radioimunoterapi menunjukkan bahwa radioimunoterapi memiliki biaya bebas penyakit yang dihitung per bulan dan per tahun jauh lebih rendah dibandingkan terapi standar. Hal ini menunjukkan bahwa radioimunoterapi memberikan tingkat efektifitas yang tinggi dengan analisa biaya yang lebih rendah dibandingkan terapi standar.

Tabel 1. Analisa biaya radioimunoterapi (dalam mata uang Euro (€))
Biaya
Radioimunoterapi
Terapi standar 4 siklus
Terapi standar 8 siklus
Total biaya
17,500
10,000
20,000
Biaya bebas penyakit 
(1 bulan)
1,200
1,600
1,800
Biaya bebas penyakit 
(1 tahun)
14,500
19,000
21,000





Tidak ada komentar:

Posting Komentar