Minggu, 19 Januari 2014

APLIKASI KLINIS RADIOIMUNOTERAPI (RIT)

Uji klinis masih terus dilakukan pada pasien dengan keganasan hematologi dan tumor padat untuk meningkatkan peranan RIT pada keganasan secara rutin. Tahap praktis pada uji klinis dari suatu obat atau terapi yang baru terdiri dari 3 uji fase, yaitu: 
·         Uji Fase I dirancang untuk menentukan batas dosis toksisitas yang disebut sebagai maximum tolerated dose (MTD) pada kelompok kecil pasien. Nilai statistik dari uji fase I tidak cukup baik dalam menilai kemangkusan anti-tumor.
·         Uji fase II dirancang untuk menguji kemangkusan dari prosedur yang sama pada kelompok kecil dengan dosis yang lebih rendah dari MTD. Uji fase II dapat dilakukan dengan cara membandingkan nilai respon tumor dengan populasi kontrol yang diobati dengan obat yang sudah baku. Obat yang memiliki nilai respon yang rendah tidak akan dilanjutkan pada uji fase tahap berikutnya.
·         Uji fase III biasanya melibatkan multi-senter dengan populasi pasien yang lebih besar dan berasal dari berbagai institusi.

Tabel. Kriteria penilaian respon terapi pada keganasan
WHO (1976)
RECIST 1.1 (2009)
PERCIST (diajukan 2009)
CR = hilangnya seluruh penyakit yang diketahui
PR = berkurangnya penyakit ≥ 50 % dari baseline
PD = bertambahnya penyakit ≥ 25 % pada 1 lesi atau lebih atau munculnya lesi baru
NC = yang tidak termasuk kriteria PR ataupun PD
CR = hilangnya seluruh penyakit yang diketahui
PR = berkurangnya penyakit ≥ 30 % dari baseline
PD = bertambahnya penyakit ≥ 20 % pada 1 lesi atau lebih atau munculnya lesi baru
SD = yang tidak termasuk kriteria PR ataupun PD
CMR = hilangnya seluruh lesi dibandingkan background blood-pool yang diketahui
PMR = berkurangnya puncak SUL FDG minimal 30 % dari baseline
PMD = bertambahnya puncak SUL FDG > 30 % dari baseline
SMD = yang tidak termasuk kriteria PMR ataupun PMD
CR = Complete Response, PR = Partial Response, PD = Progressive Disease, NC = Not Change, SD = Stabil Disease, CMR = Complete Metabolic Response, PMR = Partial Metabolic Response, PMD = Progressive Metabolic Disease, SMD = Stabil Metabolic Disease
(Dikutip dari : Wahl et al, J Nucl Med, 2009)

Tujuan utama dari pemberian terapi yang baru pada keganasan adalah kesembuhan. Kriteria penilaian terhadap terapi pada keganasan diperlukan untuk menentukan apakah terapi yang diberikan efektif atau tidak efektif. Respon terapi juga diperlukan untuk memprediksi hasil dari terapi yang baru tersebut. Terdapat beberapa kriteria penilaian terhadap respon terapi keganasan, diantaranya adalah menurut World Health Organization (WHO) dan Response Evaluation Criteria in Solid Tumors 1.1 (RECIST 2009). Kriteria penilaian ini berdasarkan penilaian secara anatomi. Namun, akhir-akhir ini telah dipublikasikan kriteria penilaian yang baru terhadap respon terapi berdasarkan metabolisme glukosa dengan menggunakan pencitraan PET FDG (PET Response Criteria in Solid Tumor (PERCIST 1.0)).8 Ringkasan mengenai kriteria penilaian ini dapat dilihat pada tabel.

LIMFOMA NON-HODGKIN (LNH)
            Terdapat dua radiofarmaka sebagai RIT yang telah diberikan ijin penggunaannya oleh Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat untuk digunakan sebagai terapi pada pasien LNH yang mengalami relaps atau folikuler/low-grade refrakter atau LNH transformed. Kedua obat tersebut adalah Y-90 ibritumomab tiuxetan (Zevalin; spectrum Pharmaceutical, Inc.) yang diberikan ijin penggunaannya oleh FDA sejak tahun 2002 dan I-131 tositumomab (Bexxar; GlaxoSmithKline) sejak tahun 2003.10 -- 16    
           
Y-90 ibritumomab tiuxetan
            Pemberian dari Y-90 ibritumomab tiuxetan terdiri dari beberapa tahap. Pemberian dosis terapi dari rituximab (250 mg/m2) dilakukan 1 minggu sebelum pemberian terapi Y-90 ibritumomab dengan tujuan untuk mengoptimalkan penangkapan tumor. Hal ini dilakukan untuk mengurangi CD20+ dari sel B yang bersirkulasi dan meningkatkan ikatan antara antibodi berlabel radioisotop dan CD20+ sel ganas. In-111 ibritumomab tiuxetan dengan aktivitas 5 mCi diberikan untuk pencitraan biodistribusi. Dosis terapi Y-90 ibritumomab dihitung berdasarkan berat badan (0.4 atau 0.3 mCi/kg [14.8 atau 11.1 MBq/kg] dengan dosis maksimum 32 mCi [1184 MBq]).11
            Pada suatu uji fase I/II yang dilakukan oleh Witzig TE dkk., pada 51 pasien dengan LNH derajat rendah, sedang, dan sel-mantle dengan menggunakan 0.2 sampai 0.4 mCi/kg (7.4 – 14.8 MBq/kg) Y-90 ibritumomab tiuxetan menunjukkan Overall Response Rate (ORR) adalah 67 % (26 % CR) dengan waktu respon berkisar antara 10.8 – 14.4 bulan. Nilai respon paling tinggi terjadi pada pasien dengan LNH derajat rendah dengan respon secara keseluruhan adalah 82 % (27 % CR, 56 % PR) sedangkan pada LNH derajat sedang terjadi pada 43 % pasien (29 % CR, 14 % PR). 12
            Pada uji fase III Witzig TE et al membandingkan antara Y-90 ibritumomab tiuxetan dan rituximab pada 143 pasien LNH CD20+ derajat rendah yang mengalami kekambuhan atau refrakter, folikuler, atau transformasi. Terapi Y-90 ibritumomab tiuxetan menunjukkan ORR adalah 80 % (30 % CR) sedangkan pada rituximab menunjukkan ORR adalah 56 % (16 % CR). Nilai respon yang paling tinggi dari Y-90 ibritumomab tuxetan terjadi pada pasien dengan limfoma folikuler (86 % vs 67 % untuk LNH non-folikuler), sedangkan untuk rituximab nilai respon yang terjadi pada LNH folikuler adalah 55 % (p < 0.01) dan 50 % pada LNH non-folikuler.13
           
I-131 tositumomab
            Protokol pemberian dari I-131 tositumomab terdiri dari dosimetri dengan menggunakan 5 mCi (185 MBq) I-131 tositumomab yang sebelumnya diberikan antibodi. Beberapa hari kemudian, pencitraan seluruh tubuh dilakukan untuk penghitungan dosimetri. Hal ini dilakukan untuk menghitung waktu clearance radiofarmaka dan dosis terapi yang dibutuhkan untuk memberikan dosis radiasi seluruh tubuh (biasanya 65 – 75 cGy). Dosis terapi diberikan 1 minggu setelah dosimetri dengan sebelumnya diberikan antibodi tanpa berlabel radioisotop. Penghambatan tiroid dengan menggunakan Lugol dilakukan paling kurang selama 3 minggu sebelum pemberian dosis dosimetri. Pada pasien yang diberikan dosis terapi perlu dilakukan isolasi hingga nilai paparan radiasi turun hingga batas aman. 11
            Kaminski et al,2000, melakukan uji fase I/II dengan I-131 tositumomab menunjukkan bahwa pada 59 pasien dengan LNH yang relaps/refrakter terhadap kemoterapi. 42 pasien (71 %) berespon terhadap RIT (20 pasien respon penuh (34 %)). Nilai median free-progressive adalah 12 bulan bagi pasien yang berespon, dan 20 bulan pagi pasien yang CR.14
           
Gambar. Perbandingan citra PET scan sebelum dan setelah terapi pasien yang mendapatkan RIT dengan (a)  I-131 tositumomab (Bexxar) dan (b) Y-90 ibritumomab tiuxetan (zevalin)


TUMOR PADAT 17,18
Hingga saat ini aplikasi RIT untuk tumor padat kurang berhasil bila dibandingkan dengan LNH. Hal ini disebabkan karena tumor padat kurang sensitif terhadap radiasi. Suplai vaskuler yang terbatas, penangkapan antibodi yang heterogen pada tumor, tekanan interstitial yang tinggi pada tumor, dan jarak yang relatif panjang di ruang interstitial menyebabkan tumor padat kurang sensitif terhadap RIT. Penangkapan RIT pada tumor hanya sekitar 0.001 -  0.01 % per gram tumor dari dosis yang diinjeksikan. Dosis serap radiasi pada tumor tidak lebih dari 1.500 cGy. Penangkapan pada tumor berkorelasi terbalik dengan ukuran tumor. Pada penelitian menggunakan hewan, RIT lebih efektif pada volume tumor yang kecil.17,18
Pemberian RIT pada keganasan berdasarkan dari karakteristik ekspresi antigen dan antibodinya. Keganasan yang sering diberikan RIT termasuk keganasan epitelial, seperti karsinoma kolorektal, karsinoma ovarium, karsinoma tiroid medulari, dan yang jarang diberikan RIT adalah keganasan payudara, prostat, dan ginjal. Antigen yang sering ditarget oleh terapi RIT adalah CEA (terutama pada keganasan kolorektal, tiroid medulari, dan payudara), Mucin-1 (Muc-1, terutama pada keganasan ovarium dan payudara), tumor-associated antigen-72 (TAG-72, terutama pada keganasan kolorektal, ovarium, dan payudara), dan G250 (terutama pada keganasan ginjal). Hampir semua penelitian yang dipublikasikan saat ini merupakan uji klinis fase I/II yang bertujuan untuk menentukan MTD. 17,18
Hasil penelitian RIT pada tumor padat masih bervariasi. CR jarang terjadi, walaupun dapat terjadi PR atau SD. Radioisotop yang sering digunakan adalah I-131 atau Y-90, walaupun Re-186, Re-188, atau Lu-177 juga dapat digunakan. Berikut ini akan dibahas hasil-hasil penelitian aplikasi RIT pada tumor padat. 17,18

Keganasan payudara
            Keganasan payudara merupakan keganasan yang pertama kali ditarget oleh RIT karena angka prevalensinya yang relatif tinggi, radiosensitif, dan ketersediaan dari antibodi yang ditarget terhadap antigen tumor. CEA, MUC-1, dan L6 merupakan antigen tumor yang sering digunakan dalam RIT pada keganasan payudara.
            CEA diekspresikan hanya 19 % oleh keganasan payudara. Anti-CEA dapat digunakan sebagai RIS dan RIT pada pasien dengan keganasan payudara. Wong dkk., melakukan penelitian untuk menilai tingkat toksisitas pada pemberian Y-90 DTPA-Mab T84.66 pada pasien dengan metastasis keganasan payudara. Nilai MTD yang diperoleh adalah 814 MBq/m2 dengan toksisitas yang terjadi adalah mielosupresi reversibel derajat III.  Pencitraan dilakukan untuk mengkonfirmasi penangkapan radioisotop oleh tumor yang ditarget. Respon klinis yang dicapai adalah SD selama 4 bulan, perbaikan hasil sidik tulang, pengurangan 50 % metastasis, dan pengurangan efusi pleura atau nyeri tulang hingga 14 dan 3 bulan.19
            DeNardo dkk., melakukan uji fase I dengan tujuan menentukan farmakokinetik dan MTD dari Y-90 MX-DTPA-BrE-3 pada 6 pasien dengan metastasis keganasan payudara. Nilai MTD yang dicapai adalah 342 MBq/m2 dengan 3 pasien menunjukkan ORR, yaitu 1 pasien dengan PR dan pasien lainnya adalah berkurang edema pada lengan dan lesi kulit.20
            Antigen permukaan sel L6 diekspresikan sangat tinggi oleh berbagai keganasan termasuk oleh payudara, paru-paru, kolorektal, dan ovarium. DeNardo dkk., telah melakukan penelitian yang menggunakan I-131 cL6 pada 10 pasien dengan metastasis keganasan payudara secara berulang (4 siklus per bulan). Dosis I-131 berkisar antara 740 – 2590 MBq/m2 dan diberikan setelah pencitraan dosimetri. Respon tumor dapat terlihat pada 6 pasien dengan 3 pasien mengalami PR dan 1 pasien mengalami SD. 17,18

Keganasan kolorektal (KKR)
            Pembedahan memiliki peranan yang penting dalam diagnostik dan terapi pada KKR, namun perananannya pada KKR yang difus mikroskopis masih sangat terbatas. Radioterapi dan kemoterapi memiliki ORR yang baik pada KKR yang difus mikroskopis, namun angka morbiditas dan perburukan kualitas hidup pada pasien sangat tinggi. Sebagian besar pasien mengalami kekambuhan, walaupun telah diberikan kemoterapi berulang. Pemberian RIT pada tumor berukuran kecil merupakan terapi tambahan dari radioterapi dan kemoterapi. RIT dapat memperbaiki pronosis dari pasien KKR karena kemampuannya dalam memberikan efek radiasi pada tumor dan kemampuan imunotoksik dari antibodinya.
            Divgi dkk., pada tahun 1995, melakukan uji fase I dari 24 pasien yang mengekspresikan TAG-72 diberikan I-131 CC49 (20 mg) dengan dosis awal 15 mCi/m2 yang ditingkatkan hingga 90 mCi/m2. Semua pasien memiliki respon yang buruk terhadap kemoterapi dan belum pernah diberikan radioterapi dan antibodi. Tidak ada pasien yang mengalami efek samping dari pemberian RIT, namun semua pasien mengalami HAMA. Apabila dosis RIT kurang dari 60 mCi/m2 tidak ditemukan adanya toksisitas hematologi. Pada dosis 60 mCi/m2, 1 pasien mengalami trombositopenia derajat II dengan titik terendah terjadi pada 3 minggu setelah pemberian RIT. Trombositopenia derajat III dan IV dapat terjadi pada pasien yang diberikan dosis lebih tinggi. Limfopenia grade IV terjadi pada 1 pasien yang diberikan dosis 90 mCi/m2. Enam pasien tampak mengalami SD selama 4 minggu.21
            RIT sebagai terapi tambahan juga terbukti dapat memperbaiki angka overall survival (OS) dan 5-year survival rate pada pasien KKR yang bermetastasis ke liver. Sepertiga pasien yang menjalani reseksi untuk metastasis ke liver hanya mampu bertahan selama 5 tahun. Pada uji fase II, Liersch dkk., memberikan I-131 labetuzumab (anti-CEA) dengan dosis 40 – 60 mCi/m2 pada pasien yang telah menjalani reseksi untuk pasien KKR dengan metastasis liver. Angka median OS dan disease-free survival adalah 68 bulan dan 18 bulan. Angka 5-year survival adalah 51.3 %.22
            Uji fase II dilakukan oleh Murray dkk., pada 15 pasien dengan KKR. Semua pasien memiliki riwayat pemberian kemoterapi. Pasien diberikan I-131 CC49 dengan dosis 75 mCi/m2 secara intravena. Toksisitas non-hematologi yang terjadi diantaranya adalah mual, arthralgia, demam, menggigil, dan perubahan tekanan darah sementara. Trombositopenia (derajat III-IV) dan granulositopenia (derajat III-IV) reversibel terjadi pada 50 % pasien 4 – 5 minggu setelah pemberian RIT. Reaksi HAMA terjadi pada hampir 90 % pasien 6 – 8 minggu setelah pemberian antibodi monoklonal. Walaupun lokalisasi tumor cukup baik dengan nilai sensitivitas 87 %, namun tidak tampak respon tumor. Tiga pasien mengalami SD selama 8 minggu dan menerima RIT kembali, namun sayangnya semua pasien mengalami PD pada 16 minggu setelah pemberian RIT.23

Keganasan ovarium
            Beberapa penelitian melaporkan bahwa RIT dapat digunakan baik sebagai modalitas diagnostik maupun terapi pada pasien dengan keganasan ovarium. Pemberian RIT secara lokoregional direkomendasikan untuk meningkatkan nisbah tumor-nontumor pada penyakit di intraperitoneal sehingga dapat memperbaiki hasil terapi. Pada uji klinis fase I yang dilakukan oleh Alvarez RD dkk., dengan memberikan Y-90 CC49 secara intraperitoneal pada pasien keganasan ovarium yang persisten atau rekurens. Dari dua puluh pasien yang gagal terhadap pemberian 1 – 2 siklus kemoterapi diperoleh nilai MTD adalah 24.2 mCi/m2 dengan toksisitas hematologi yang membatasi pemberian dosis. Dari 9 pasien yang dapat diukur tumornya, 2 pasien mengalami PR selama 2 dan 4 bulan. Dari 11 pasien yang tidak dapat diukur tumornya, waktu median untuk progresif adalah 6 bulan untuk 7 pasien yang kambuh, sedangkan 4 pasien lainnya tidak terbukti kambuh selama masing-masing 9, 18, 19, dan 23 bulan.24
            Mahe et al, memberikan 120 mCi (4.44 GBq) I-131 F(ab’)2 OC 125 secara intra-peritoneal pada 6 pasien karsinoma ovarium dengan residual mikroskopis. Semua pasien telah menjalani laparotomi dan kemoterapi 1 – 2 siklus. Laparaskopi atau laparotomi dilakukan 3 bulan setelah RIT dan ditemukan 3 pasien mengalami PD dan 3 pasien SD. Dua pasien mengalami neutropenia dan dua pasien mengalami trombositopenia. HAMA terlihat pada semua pasien.25
            Hird dkk., melaporkan 52 pasien dengan keganasan ovarium derajat I – IV yang menerima Y-90 berlabel antibodi monoklonal setelah pembedahan dan kemoterapi. Sekitar 40 % dari pasien tersebut tidak memiliki bukti adanya sisa keganasan. Pasien dengan tumor yang berukuran besar memiliki median nilai survival selama 11 bulan (2 - 31 bulan). 17
           
Keganasan otak
            Pemberian RIT secara lokoregional melalui rongga tubuh (seperti, peritoneum, kepala, pleura, dan kandung kemih)  memberikan hasil terapi yang cukup baik. Antibodi ditangkap secara langsung oleh TSA dan bertahan di tumor dengan waktu yang cukup lama untuk memberikan efek radiasi yang diperlukan untuk mencapai respon terapi yang diinginkan. Beberapa penelitian telah menunjukkan respon klinis yang baik pada pasien dengan tumor di daerah leptomeningeal yang diberikan RIT secara intratekal.
            Keganasan glioma mengekspresikan tenascin dalam kadar yang tinggi pada tumor. Tenascin ini terdistribusi secara merata pada jaringan tumor yang viabel. Dua antibodi anti-tenascin yang berasal dari tikus, BC-2 dan BC-4, dapat dilabel dengan I-131 dan digunakan pada pasien dengan GBM rekuren berukuran besar. Semua pasien telah menjalani pembedahan dilanjutkan dengan radioterapi dan kemoterapi akibat kekambuhan dari penyakitnya. Dosis antibodi rerata adalah 1.93 mg dan I-131 adalah 551.3 MBq yang diberikan secara intra-tumoral dan dapat diulang hingga mencapai dosis kumulatif pada tumor > 15.000cGy.  Pemberian dosis antibodi dapat ditingkatkan hingga 3 mg dan dosis I-131 hingga 1100 MBq dengan dosis serap radiasi pada tumor mencapai > 25000 cGy. Pemberian terapi ini menghasilkan nilai respon objektif terapi sebesar 34.7 %. Nilai CR dan PR dari RIT ini dapat mencapai 36 % dan SD sebesar 30 %, sehingga dapat memperbaiki angka OS dan kualitas hidup pasien.26
            Reardon DA dkk., dalam suatu uji fase II yang menilai kemangkusan dan toksisitas dari 100 mCi I-131-m81C6 (antitenascin) yang diberikan secara intra-tumoral pada saat operasi pasien keganasan otak dengan kekambuhan. Sebanyak 63 % dari 34 pasien glioblastoma multiforme(GBM)/gliosarkoma(GS) dan 59 % dari 9 pasien dengan anaplastic astrocytoma(AA)/anaplastic oligodendroglioma(AO)/metastatic adenocarcinoma dapat bertahan hidup selama 1 tahun. Nilai median OS untuk GBM/GS  dan AA/AO adalah 64 minggu dan 99 minggu.27



Keganasan ginjal
            Beberapa antigen telah digunakan dalam penelitian eksperimental RIT pada pasien dengan keganasan ginjal, namun hanya antigen G250 yang telah digunakan di dalam klinis. Steffens dkk., melakukan penelitian dengan menggunakan I-131 chimeric G250 pada pasien dengan keganasan ginjal. Tampak penangkapan radioaktivitas pada tumor cukup tinggi yaitu mencapai 0.052 % dosis injeksi per gram tumor. Pemeriksaan dosimetri membuktikan dosis serap radiasi pada tumor dapat mencapai 1.95 cGy/MBq. Pada uji fase I ini Steffens dkk., memperoleh nilai MTD adalah 2250 MBq/m2 dan terlihat 1 pasien dengan PR sedangkan pasien lainnya mengalami SD lebih dari 6 bulan.28
            Divgi CR dkk., melakukan penelitian untuk menentukan nilai MTD dari I-131 G250 pada pasien dengan metastasis keganasan ginjal. Nilai MTD diperoleh 3330 MBq/m2. Walaupun tidak tampak ORR dari terapi, namun ditemukan 17 dari 33 pasien mengalami SD. Semua pasien yang diberikan RIT mengalami HAMA.29
           
Keganasan tiroid meduler (KTM)
            Prognosa KTM bervariasi mulai dari angka OS yang panjang hingga lebih pendek pada pasien dengan faktor prognostik yang buruk seperti usia lebih dari 45 tahun, stadium penyakit, dan penanda tumor. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa kadar CEA berkorelasi baik dengan perjalanan penyakit.
            Pada uji fase I/II yang dilakukan oleh Kraeber-Bodere F dkk., menggunakan teknik pretarget 50 mg In-murine BsMAbanti-CEA/anti-DTPA (F6-734, antibodi bispesifik) dengan interval waktu 4 hari sebelum penyuntikan 40 – 100 mCi I-131 hapten bivalen pada 26 pasien KTM rekurensi. Persentase rerata penangkapan aktivitas per gram yang disuntikkan oleh tumor pada saat maksimum adalah 0.08 % (kisaran 0.003 – 0.26 %). Waktu paruh biologis tumor berkisar antara 3 – 95 hari. Toksisitas hematologi grade III/IV dialami oleh 7 pasien dengan metastasis tulang. Dari 17 pasien  yang dapat dinilai, 4 pasien keluhan nyeri menghilang, 5 pasien dengan respon minor, dan 4 pasien berespon terhadap penurunan kadar kalsitonin. HAMA terjadi pada 9 pasien. MTD pada kelompok pasien ini adalah 48 mCi/m2. Respon terapi dapat terlihat pada pasien dengan sisa tumor berukuran kecil.30
            Chatal JF dkk., memberikan 38 – 112 mCi I-131 bivalen hapten dengan 4 hari sebelumnya diberikan 50 mg F6-734 pada 29 pasien dengan KTM kemudian dibandingkan dengan 39 pasien KTM yang tidak diberikan RIT. Pada pasien yang diberikan RIT angka OS lebih tinggi (median, 159 vs 61 bulan; p<0.01) dibandingkan pasien yang tidak diberikan RIT. 30

Keganasan prostat
            PSMA merupakan suatu glikoprotein membran sel  yang stabil dan tidak disekresikan oleh prostat. PSMA diekspresikan tinggi oleh keganasan prostat, walaupun juga diekspresikan rendah pada jaringan normal seperti usus halus, sel tubulus proksimal ginjal, dan kelenjar saliva. Antibodi monoklonal terhadap PSMA (J591) secara selektif ditangkap oleh keganasan prostat dan metastasisnya.
            Uji fase I untuk RIT keganasan prostat dilakukan oleh Milowsky MI dkk., dengan memberikan Y-90 J591 yang 1 minggu sebelumnya dilakukan pemeriksaan farmakokinetik dan biodistribusi dengan In-111 J591 pada 29 pasien dengan keganasan prostat. Y-90 J591 diberikan dalam 5 dosis yaitu 5, 10, 15, 17.5, dan 20 mCi/m2. MTD yang diperoleh adalah 17.5 mCi/m2. Dua pasien mengalami trombositopenia yang memerlukan tranfusi trombosit. Dari pencitraan, tampak penangkapan radioaktivitas pada lesi yang diketahui metastasis tulang dan jaringan lunak lainnya. Tidak ada reaksi HAMA/HAHA ditemukan pada pasien. Efek anti-tumor terlihat pada 2 pasien yang mengalami penurunan kadar PSA sebesar 85 % dan 70 % selama 8 dan 8.6 bulan. Enam pasien (21 %) mengalami SD dari penyakitnya.32
            Uji klinis fase II telah dilakukan di 2 senter pada 15 pasien dengan metastasis keganasan prostat yang progresif menerima Lu-177 J591 dengan aktivitas 65 mCi/m2 dan 17 pasien menerima 70 mCi/m2. Penangkapan radioaktivitas tampak pada lesi metastasis pada 30 dari 32 (94 %) pasien. Tampak penurunan kadar PSA pada pasien yang menerima 70 mCi/m2 (71 %) dibandingkan dengan 65 mCi/m2 (46 %).33

SIMPULAN
            Walaupun masih dalam tahap pengembangan, namun RIT merupakan terapi tambahan yang cukup menjanjikan untuk keganasan. Modalitas RIT saat ini baru terbatas digunakan sebagai terapi tambahan pada pasien dengan LNH. FDA telah memberikan ijin penggunaan Y-90 ibritumomab tiuxetan dan I-131 tositumomab pada RIT untuk LNH yang relaps atau refrakter folikuler derajat rendah. Penggunaan RIT pada tumor padat masih menemui banyak kesulitan karena penangkapan RIT di tumor masih sangat rendah. Pemberian secara lokoregional diharapkan dapat meningkatkan kemangkusan RIT untuk tumor padat.

 DAFTAR PUSTAKA
1.     Houghton AN. Cancer Antigens : Immune Recognition of Self and Altered Self.J Exp Med 1994;180:1-4.
2.    Sharkey RM and Goldenberg DM. Targeted Therapy of Cancer : New Prospects for Antibodies and Immunoconjugates. CA Cancer J Clin 2006;56:226-243.
3.  Koppe MJ. Antibody-guided radiation therapy of cancer. Surgery and Radioimmunotherapy in peritoneal carcinomatosis of colorectal origin. Gildeprint Drukkerijen, Enschede, The Netherlands. Thesis. 2006;1:13-62.
4.   Paganeli et al. Radioimmunological therapy. In : Maisey MN, Britton KE, and Collier BD, editors. Clinical Nuclear Medicine. 3rd ed. London : Chapman & Hall; 1998. P. 39 – 52
5.      Carrasquillo JA, Harbert JC. Radioimmunotherapy. In : Harbert JC, Eckelman WC, and Neumann RD, editors. Nuclear medicine diagnosis and therapy. New York : Thieme; 1996. P. 1125 – 1140
6.      Ng DCE. Radioimmunotherapy : a brief overview. Biomed Imaging Interv J. 2006; 2(3):e23
7.      Prise KM. Bystander effects and Radionuclide Therapy. In : Stigbrand T, Carlsson J, and Adams GP. Targeted Radionuclide Tumor Therapy Biological Aspect. Springer Science+Business Media B.V; 2008.P.311-20
8.    Macey et al. A primer for radioimmunotherapy and radionuclide therapy. Madison : Medical physics; 2001.
9.      Wahl RL, Jacene H, Kasamon Y, and Lodge MA. From RECIST to PERCIST: Evolving Consideratio for PET Response Criteria in Solid Tumors. J Nucl Med 2009;50:122S-150S.
10.  Sharkey RM, Karacay H, and Cardillo TM. Improving the Delivery of Radionuclides for Imaging and Therapy of Cancer Using Pretargeting Methods. Clin Cancer Res 2005;11:7109s-7121s.
11.  Cheson BD. Radioimmunotherapy of non-Hodgkin lymphomas. Blood 2003;101:391-398.
12.  Witzig TE et al. Phase I/II Trial of IDEC-Y2B8 Radioimmunotherapy for Treatment of Relapsed or Refractory CD20+ B-Cell Non-Hodgkin’s Lymphoma. J Clin Oncol 1999;17:3793-803
13.Witzig TE et al. Randomized Controlled Trial of Yttrium-90-Labeled Ibritumomab Tiuxetan Radioimmunotherapy Versus Rituximab Immunotherapy for Patients With Relapsed or Refractory Low-Grade, Follicular, or Transformed B-Cell Non-Hodgkin’s Lymphoma. J Clin Oncol 2002;20:2453-63.
14.  Kaminski MS et al. Radioimmunotherapy with iodine-131 tositumomab for relapsed or refractory B-cell non-Hodgkin lymphoma: updated results and long-term follow-up of the University of Michigan experience. Blood 2000;96:1259-66.
15. Gregory SA, Hohloch K, Gisselbrecht C, Tobinal K, and Dreyling M. Harnessing the energy: Development of radioimmunotherapy for patients with non-hodgkin’s lymphoma. The oncologist 2009;14(suppl 2):4 – 16
16.  Jacobs SA. Radioimmunotherapy : a promising treatment strategy for follicular lymphoma. Commun Oncol 2010;7:7 – 10
17.  Meredit RF and Buchsbaum DJ. Radioimmunotherapy for solid tumors. In : Henkin RE et al., editors. Nuclear Medicine. 2nd ed. Philadelphia : Mosby; 2006. P . 1624 – 1632
18.  Divgi C. Radioimmunotherapy of solid tumors. In : Eary JF and Brenner W, editors. Nuclear Medicine Therapy. New York : Informa Healthcare USA, Inc; 2007. P. 121 – 146
19. Wong JYC et al. Initial Clinical Experience Evaluating Yttrium-90-Chimeric T84.66 Anticarcinoembryonic Antigen Antibody and Autolous Hematopoietic Stem Cell Support in Patients with Carcinoembryonic Antigen-producing Metastatic Breast Cancer. Clin Cancer Res 1999; 5:3224s-231s
20.  DeNardo SJ et al. Radioimmunotherapy for Breast Cancer Using Indium-111/Yttrium-90 BrE-3: Results of a Phase I Clinical Trial. J Nucl Med 1997; 38:1180-85
21.  Divgi CR et al. Phase I Radioimmunotherapy Trial with Iodine-131-CC49 in Metastatic Colon Carcinoma. J Nucl Med 1995; 36:586-92
22.  Liersch T et al. Phase II Trial of Carcinoembryonic Antigen Radioimmunotherapy With I-131 Labetuzumab After Salvage Resection of Colorectal Metastases in the Liver: Five-Year Safety and Efficacy Results. J Clin Oncol 2005;23:6763-70
23.  Murray JL et al. Phase II Radioimmunotherapy Trial with I-131 CC49 in Colorectal Cancer. Cancer 1994;73:1057-66
24. Alvarez RD et al. A Phase I Study of Combined Modality Y-90 CC49 Intraperitoneal Radioimmunotherapy for Ovarian Cancer. Clin Cancer Res 2002;8:2806-11
25.  Mahe MA et al. A Phase II Study of Intraperitoneal Radioimmunotherapy with Iodine-131-labeled Monoclonal Antibody OC-125 in Patients with Residual Ovarian Carcinoma. Clin Cancer Res 1999;5:3249s-53s
26.  Riva P, Franceschi G, Riva, N, Casi M, Santimaria M, Adamo M. Role of Nuclear Medicine in the treatment of malignant gliomas: the locoregional radioimmunotherapy approach. Eur J Nucl Med 2000;27:601-09
27.  Reardon DA et al. Salvage Radioimmunotherapy With Murine Iodine-131-Labeled Antitenascin Monoclonal Antibody 81C6 for Patients With Recurent Primary and Metastatic Malignant Brain Tumors : Phase II Study Results. J Clin Oncol 2006;24:115-22
28.  Steffens MG et al. Phase I Radioimmunotherapy of Metastatic Renal Cell Carcinoma with I-131-labeled Chimeric Monoclonal Antibody G250. Clin Cancer Res 1999;5:3268s-74s
29.  Divgi CR et al. Phase I/II radioimmunotherapy trial with iodine 131-labeled monoclonal antibody G250 in metastatic renal cell carcinoma. Clin Cancer Res 1998; 4:2729-39
30.  Kraeber-Bodere F et al. Radioimmunotherapy in Medulary Thyroid Cancer Using Bispesific Antibody and Iodine 131-labeled Bivalent Hapten: Preliminary Results of a Phase I/II Clinical Trial. Clin Cancer Res 1999;5:3190s-98s
31.  Chatal JF et al. Survival Improvement in Patients With Medullary Thyroid Carcioma Who Undergo Pretargeted Anti-Carcinoembryonic-Antigen Radioimmunotherapy: A Collaborative Study With the French Endocrine Tumor Group. J Clin Oncol 2006;24:1705-11
32.  Milowski MI et al. Phase I Trial of Yttrium-90-Labeled Anti-Prostate-Specific Membrane Antigen Monoclonal Antibody J591 for Androgen-Independent Prostate Cancer. J Clin Oncol 2004;22:2522
33. Tagawa ST. Anti-Prostate-Specific Membrane Antigen-Based Radioimmunotherapy for Prostate Cancer. Cancer 2010;116:1075-83

Tidak ada komentar:

Posting Komentar