Minggu, 19 Januari 2014

ANTIBODI DAN RADIOIMUNOTERAPI

I. ANTIBODI
Molekul antibodi, atau sering juga disebut immunoglobulin, diproduksi oleh sel limfosit B dalam merespon adanya suatu patogen. Imunoglobulin terdiri dari dua fragmen Fab dan satu fragmen Fc (lihat gambar.1). Bagian Fab yang memiliki daerah variabel sebagai tempat terjadinya ikatan yang spesifik antara antigen yang ditarget oleh antibodi. Bagian Fc diperlukan untuk aktivasi dari complement cascade atau sel efektor. Imunoglobulin terdiri dari beberapa kelas. IgG merupakan kelas imunoglobulin yang paling sering digunakan untuk RIT. Antibodi IgG adalah protein yang besar dengan berat molekul (BM) 150 kDa, sehingga dapat membatasi proses difusi IgG dari darah menuju tumor yang mengakibatkan distribusi IgG intra-tumoral menjadi heterogen. IgG juga memiliki waktu paruh yang panjang untuk bersirkulasi di dalam plasma darah yaitu sekitar 3 – 4 hari. Clearance IgG yang lambat dari plasma darah mengakibatkan nisbah antara tumor dan background menjadi rendah. Fragmen antibodi dengan ukuran yang lebih kecil dari IgG digunakan untuk meningkatkan nisbah antara tumor dan background. Fragmen antibodi dihasilkan dari proses enzimatik terhadap IgG utuh yang dikenal sebagai F(ab’)2 (BM 100 kDa) atau F(ab) (BM 50 kDa). Penangkapan maksimum fragmen antibodi oleh tumor dicapai lebih cepat serta nisbah antara tumor dan background lebih tinggi bila dibandingkan dengan IgG utuh. Perbedaan lainnya adalah IgG utuh dimetabolisme terutama di hepar dan lien, sementara ekskresi dari fragmen antibodi terutama melalui ginjal.

Gambar.1 a. IgG utuh (BM 150 kDa), b. fragmen F(ab’)2 (BM 100 kDa), c. fragmen Fab’ (BM 50 kDa), d. IgG chimeric (67 % antibodi manusia), E. IgG humanized (90 – 95 % antibodi manusia), F. Antibodi manusia utuh, G. Antibodi bispesifik. 
Dikutip dari : Koppe MJ et al., Antibody-guided radiation therapy of cancer, 2005.
Salah satu faktor penyulit terapi imun adalah respon imun (imunogenitas) terhadap antibodi itu sendiri. Antibodi umumnya berasal dari antibodi tikus yang dapat mencetuskan suatu respon imun di dalam tubuh manusia. Respon imun tersebut dikenal sebagai human-anti-mouse-antibodies (HAMA) yang terbentuk akibat pemberian berulang antibodi. HAMA menyebabkan clearance antibodi menjadi lebih cepat sehingga mengurangi kemangkusan dari terapi berikutnya.

Antibodi chimeric dan humanized dirancang dengan mengkombinasikan antara fragmen konstan Fc dari antibodi manusia dengan fragmen variabel Fab dari antibodi tikus dengan tujuan mengurangi respon imun ini. Namun demikian, human-anti-chimeric-antibodies (HACA) dan human-anti-humanized-antibodies (HAHA) masih tetap dapat terbentuk walaupun antibodi chimeric dan humanized terbukti kurang imunogen dibandingkan dengan antibodi tikus. Saat ini sedang dikembangkan suatu rekayasa molekuler yang membuat antibodi menyerupai antibodi manusia.


Gambar 2. Mekanisme aksi dari antibodi terhadap tumor. (A) Antibodi mengaktifkan sinyal apoptosis, (B) antibody-dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC), (C) complement dependent cytotoxicity (CDC), (D) Antibodi menghambat proses neovaskularisasi. 
dikutip dari : Sharkey RM, CA Cancer J Clin, 2006

Antibodi memiliki efek terapi melalui mekanisme secara langsung dan secara tidak langsung. Antibodi membunuh sel ganas secara langsung dengan jalan mengawali sinyal di dalam sel untuk terjadinya proses apoptosis. Antibodi dapat menghambat reseptor faktor pertumbuhan sehingga menghambat proliferasi dari sel tumor. Mekanisme kematian sel secara tidak langsung oleh antibodi antara lain melalui mekanisme antibody-dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC, lihat gambar 2). Antibodi akan menandai sel ganas dan menarik sel-sel sitotoksik untuk menghancurkan sel ganas tersebut. Fragmen Fc dari antibodi mengikat reseptor Fc pada sel sitotoksik (seperti sel monosit, makrofag, dan sel natural killer (NK)) yang kemudian akan menghancurkan sel tumor tersebut.

Antibodi juga berikatan dengan komplemen yang menyebabkan toksisitas sel yang disebut sebagai complement-dependent cytotoxicity (CDC, lihat gambar 2). Antibodi berikatan dengan reseptor dan mengawali aktivasi sistim komplemen yang disebut complement cascade dan mengakibatkan sel menjadi lisis dan mati.

Teknik untuk meningkatkan kemangkusan terapi antibodi adalah dengan melabelkan antibodi dengan toksin, radionuklida, dan obat kemoterapi. Antibodi yang dilabelkan dengan toksin dan obat kemoterapi berikatan secara spesifik dengan antigen dan diabsorbsi ke dalam sel ganas yang mengakibatkan kematian sel tersebut. Dengan begitu hanya sel yang mengekspresikan antigen dan mengabsorbsi antibodi saja yang dapat dibunuh oleh antibodi yang dilabelkan dengan toksin dan obat, sedangkan sel yang tidak mengekspresikan antigen dan mengabsorbsi antibodi tidak mengalami kematian.


Gambar 3. Pelabelan antara antibodi dengan radionuklida, obat, dan toksin.
Dikutip dari : Sharkey RM, CA Cancer J Clin, 2006


RADIOIMMUNOTHERAPY

RIT memiliki dua kelebihan dibandingkan dengan antibodi yang dilabelkan dengan toksin dan kemoterapi. Pertama, sel tumor yang tidak mengekspresikan antigen masih dapat dibunuh secara langsung dengan merusak DNA oleh energi radiasi yang dipancarkan dari antibodi berlabel radionuklida. Fenomena ini disebut sebagai crossfire effect. Selain itu, sel yang berada di dekat sel yang terpapar radiasi juga masih dapat mengalami kematian sel, mutasi, kerusakan kromosom, apoptosis, dan transformasi sel walaupun sel tersebut tidak terpapar radiasi. Respon dari sel yang tidak terapapar radiasi ini disebabkan oleh perubahan medium sinyal molekuler melalui faktor klastogenik (seperti: sitokin, oksigen reaktif (ROS), nitrogen species (RNS), dan kalsium) dan komunikasi antar sel melalui Gap-junctional intrercellular communication (GJIC). Respon yang terjadi ini disebut sebagai bystander effect (lihat gambar 4). Kelebihan RIT yang kedua adalah antibodi berlabel radionuklida kecil kemungkinannya dapat mengalami resistensi seperti halnya obat.

Keberhasilan RIT dipengaruhi oleh beberapa faktor, pertama adalah karakteristik dari antibodi seperti spesifisitas, afinitas, aviditas, dosis, proses internalisasi, dan reaksi imun yang ditimbulkan oleh antibodi. Kedua, antigen yang ditarget termasuk lokasi, densitas, heterogenitas ekspresi, stabilitas, dan pengaturan antigen. Ketiga, radionuklida yang dipengaruhi oleh properti pancaran radiasi, tangkapan fisiologis, dan stabilitas kimia dari radionuklidanya. Terakhir adalah sifat dari keganasannya yang memiliki radiosensitivitas intrinsik, tingkat proliferasi, volume, dan lapang tumor ideal untuk dilakukan RIT.

Gambar 4. Cross-fire effect versus bystander effect. Pada cross-fire effect, sel A yang teradiasi meneruskan energi radiasinya ke sel B dan langsung merusak DNA sel tersebut. Pada bystander effect sel yang berdekatan dengan sel teradiasi masih dapat mengalami perubahan medium sinyal molekulernya dan komunikasi dengan sel yang teradiasi.
Dikutip dari : Prise KM, Target Radionuclide Tumor Therapy, 2008

Radionuklida
Radionuklida yang sering digunakan adalah partikel beta, seperti Iodium-131 (I-131), Yttrium-90 (Y-90), Rhenium-18 (Re-186), Rhenium-188 (Re-188), Copper-67 (Cu-67), dan Lutetium-177 (Lu-177). Perbedaan dari radionuklida ini terletak pada waktu paruh fisik, keberadaan sinar gamma, energi dari sinar beta, dan jarak penetrasi energi beta pada jaringan (lihat tabel.1).

Tumor ukuran kecil kurang efektif bila diberikan radionuklida Y-90, karena energi beta dari Y-90 sangat tinggi dan 70 % dari energi radiasi tersebut akan diberikan di luar tumor tersebut. Partikel beta energi medium, seperti I-131 dan Lu-177, lebih efektif untuk tumor yang berukuran kecil, sebaliknya partikel beta energi tinggi seperti Y-90, lebih efektif untuk terapi tumor yang berukuran besar.

Faktor penting lain yang mempengaruhi dosis serap radiasi pada tumor adalah nasib dari radionuklida setelah terjadi internalisasi dari antibodi ke dalam sel tumor. Proses internalisasi ini tergantung antibodi yang mentarget antigen di permukaan sel tumor. Kemudian setelah terjadi proses internalisasi, antibodi tersebut akan dirusak oleh lisosom dan dikeluarkan dari dalam sel. Proses internalisasi ini kurang berpengaruh terhadap RIT yang menggunakan radionuklida energi tinggi, namun pada radionuklida energi rendah membutuhkan proses internalisasi karena radionuklida harus sedekat mungkin dengan nukleus agar dapat menghasilkan efek sitotoksik.

Tabel 1. Radionuklida yang sering digunakan pada RIT
Dikutip dari : Koppe MJ et al., Antibody-guided radiation therapy of cancer, 2005

Imunogenitas
Angka kejadian HAMA/HACA dalam suatu penelitian dengan mengunakan Y-90 ibritumomab tiuxetan adalah ≤ 2 % tanpa adanya keluhan efek samping yang berarti. Pada pasien yang diberikan I-131 tositumomab, risiko terjadinya HAMA sebesar 9 % dan meningkat menjadi 65 % bila diberikan sebagai terapi lini pertama. Angka kejadian dari imunogenitas ini dapat mencapai 100 % apabila menggunakan radiofarmaka lainnya. Keluhan yang berkaitan dengan terjadinya imunogenitas biasanya menyerupai gejala seperti flu. Pemberian imunosupresi sebelum terapi dapat mengurangi terjadinya HAMA.


Dosimetri
Perhitungan dosis radiasi, jadwal pemberian radiasi, dan dosis yang diberikan pada tumor dan organ normal masih menjadi kontroversi. Beberapa cara untuk menentukan dosis radioaktivitas diantaranya adalah :
  • Dosis tetap
  • Dosis berdasarkan berat badan
  • Dosis berdasarkan luas permukaan tubuh
  • Dosis berdasarkan jumlah paparan radiasi seluruh tubuh
  • Dosis berdasarkan jumlah paparan radiasi sumsum tulang
Hampir seluruh antibodi monoklonal berlabel radionuklida telah menjalani uji klinis fase I untuk menentukan maximum-tolerated-dose (MTD). Toksisitas yang membatasi dosis adalah leukopenia dan trombositopenia. Perhitungan dosimetri tidak dapat memprediksi hasil dari RIT dan juga tingkat toksisitas setelah diberikan RIT. Beberapa peneliti menyarankan pemberian dosis secara individual berdasarkan perhitungan dosimetri. Peneliti yang lain menunjukkan bahwa pemberian RIT aman bila dosis diberikan berdasarkan berat badan pasien, tanpa membutuhkan perhitungan dosimetri. Metode ini terbukti tidak berpengaruh terhadap kadar trombosit sumsum tulang.


Toksisitas
Toksisitas yang dapat terjadi pada RIT terutama toksisitas yang berkaitan dengan hematologi walaupun dapat juga terjadi toksisitas non-hematologi. Toksisitas hematologi berhubungan dengan dosis serap radiasi pada sumsum tulang yang merupakan organ paling sensitif terhadap radiasi. Pada penelitian-penelitian uji klinis yang menggunakan Y-90 ibritumomab tiuxetan toksisitas hematologi terjadi pada 7 – 9 minggu setelah pemberian terapi. Hal ini berbeda dengan kemoterapi yang terjadi pada 1 – 2 minggu setelah pemberian terapi. Toksisitas hematologi yang terjadi bersifat reversibel dengan nilai median titik terendah untuk neutrofil adalah 800/mm3, trombosit 37.500/mm3, dan hemoglobin 10.3 g/dL. Neutropenia dan trombositopenia derajat 4 terjadi pada 32 % dan 8.5 % dari pasien yang diberikan Y-90 ibritumomab tiuxetan, namun hanya 7.6 % yang dirawat karena infeksi. Faktor pertumbuhan perlu diberikan pada 17 % pasien, sedangkan transfusi sel darah merah dan trombosit diberikan pada 18 % dan 22 % pasien. Toksisitas hematologi yang penting adalah terjadinya keganasan sekunder, seperti Acute Myelogenous Leukemia (AML) dan treatment related myelodysplastic syndrome (tMDS) yang telah dilaporkan terjadi pada 1.5 % pasien dengan waktu pemantauan median kurang dari 2 tahun.

Toksisitas non-hematologi yang sering terjadi diantaranya adalah astenia, nausea, infeksi, menggigil, demam, dan nyeri abdomen. Toksisitas non-hematologi sifatnya ringan dan sementara serta jarang memerlukan perawatan yang intensif.

Toksisitas juga dapat terjadi apabila pelabelan antara antibodi dan radionuklida tidak sempurna, sehingga antibodi dan radionuklida terpisah di dalam tubuh. Apabila hal ini terjadi maka toksisitas akan bergantung kepada fisiologis dari antibodi dan radionuklida yang digunakan. Antibodi dimetabolisme di dalam hepar dan akan berisiko terjadinya hepatotoksik walaupun kemungkinannya kecil karena dosis antibodi yang digunakan lebih kecil dari dosis antibodi yang biasa digunakan untuk terapi imun. Radionuklida bebas yang bersirkulasi di dalam tubuh akan ditangkap oleh organ fisiologisnya, seperti I-131 akan ditangkap oleh kelenjar saliva, tiroid, dan saluran pencernaan. Oleh sebab itu pada RIT yang menggunakan I-131 sebagai radionuklida maka perlu diberikan obat proteksi tiroid (lugol) sebelum I-131 diberikan. Sedangkan pada radionuklida bebas yang bersifat bone seeking agent (seperti, Re-186, Re-188, Y-90, dan Lu-177) akan meningkatkan risiko terjadinya mielosupresi.



Teknik untuk meningkatkan kemangkusan dan mengurangi toksisitas
Toksisitas radiasi pada jaringan normal yang radiosensitif, terutama sumsum tulang, membatasi dosis aktivitas yang diberikan sehingga dapat mengurangi kemangkusan RIT. Beberapa teknik telah digunakan untuk mengatasi toksisitas pada sumsum tulang. Teknik tersebut adalah sebagai berikut : 

1.  Penggunaan fragmen antibodi,
Penggunaan fragmen antibodi telah digunakan pada penelitian hewan dan uji klinis untuk mencegah terjadinya toksisitas pada sumsum tulang. Penangkapan fragmen berlabel radionuklida oleh tumor lebih rendah dan waktu retensi pada tumor lebih singkat bila dibandingkan dengan IgG utuh.

2. Teknik pretarget,
Teknik pretarget merupakan metode yang bertujuan untuk meningkatkan penangkapan antibodi berlabel radioisotop oleh tumor dan mengurangi toksisitas pada sumsum tulang. Dari hasil penelitian preklinis maupun klinis menunjukkan bahwa teknik pretarget dapat memberikan dosis serap radiasi tumor lebih tinggi dibandingkan dengan RIT tanpa teknik pretarget. Walaupun dosis radiasi terhadap sumsum tulang berkurang, namun dosis radiasi pada ginjal relatif tinggi. Glomerulosklerosis berat dan gagal ginjal dapat terjadi setelah beberapa bulan pemberian terapi dengan teknik pretarget.

Gambar 5. Prosedur teknik pretarget dengan menggunakan streptavidin-avidin-biotin.
Dikutip dari : Boermen et al, J Nucl Med, 2003



Terdapat dua metode pada teknik pretarget berdasarkan dari interaksi antara penyuntikan yang pertama dan kedua. 
a) Interaksi (strept)avidin dan biotin

Metode ini berdasarkan interaksi yang sangat kuat antara avidin dan biotin. Nilai afinitas dari avidin-biotin adalah 1 juta kali lebih kuat dibandingkan dengan interaksi antigen-antibodi. Pretarget dilakukan dengan menyuntikan biotin untuk pertama kali yang dilanjutkan dengan avidin berlabel radioisotop (lihat gambar 5). Avidin berlabel radioisotop akan terakumulasi pada tumor yang telah menangkap biotin. Pemberian avidin tanpa radioisotop diberikan sebelum penyuntikan avidin berlabel radioisotop untuk menurunkan kadar biotin-antibodi di dalam darah sehingga akan meningkatkan penangkapan pada tumor dan clearance avidin berlabel radioisotop dalam darah. 

b) Antibodi bispesifik
Antibodi bispesifik adalah antibodi dengan afinitas terhadap antigen tumor dan juga peptide berlabel radioisotop (hapten). Kompleks yang terbentuk dari antibodi bispesifik-hapten di sirkulasi relatif labil karena afinitas antara antibodi bispesifik-hapten relatif rendah. Akibatnya, pada metode antibodi bispesifik ini tidak diperlukan pemberian zat pembersih seperti pada metode avidin-biotin. Antibodi bispesifik humanized telah dikembangkan untuk mengurangi terjadinya respon imun pada pasien.
Gambar 6. Contoh teknik pretarget dengan menggunakan antibodi monoklonal bispesifik yang memiliki satu lengan untuk berikatan dengan antigen tumor dan satu lengan lainnya untuk berikatan dengan RIT. Dikutip dari : Sharkey RM, CA Cancer J Clin, 2006.2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar