Minggu, 14 Oktober 2012

Kedokteran nuklir: Apa dan Bagaimana


Kedokteran Nuklir: Apa dan Bagaimana ?

Jika masyarakat awam mendengar kata “NUKLIR”, hampir dapat dipastikan bahwa sebagian besar masyarakat akan berpikir mengenai BOM NUKLIR seperti yang terjadi di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Ketakutan akan bahaya nuklir (nuclear phobia) seakan semakin bertambah manakala mengingat kembali peristiwa yang terjadi di Chernobyl Rusia pada tahun 1986, yang pada saat itu terjadi ledakan pada reaktor dan mengakibatkan kebocoran radiasi tingkat tinggi. Hal yang hampir sama juga terjadi di Jepang, Fukushima pada tahun 2011, setelah terjadi gempa dan tsunami salah satu reaktor di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) tersebut mengalami masalah dengan sistim pendingin yang mengakibatkan ledakan akibat tekanan hidrogen yang meningkat, sehingga terjadi kebocoran radiasi, meskipun tingkat bahayanya tidak separah seperti yang terjadi di Chernobyl. Jepang, yang notabene pernah merasakan dahsyatnya ledakan bom atom pada saat perang dunia II tersebut, nampaknya tidak jera menggunakan energi nuklir sebagai salah satu sumber energi di negara matahari tersebut. Banyak PLTN yang jumlahnya mencapai ratusan didirikan oleh negara tersebut, hal ini seolah-olah menggambarkan bahwa warga Jepang tidak phobia terhadap nuklir, justru merasa terbantu dengan adaya energi nuklir ini.
Text Box: Gambar 1. Bencana nuklir yang menimbulkan nuclear phobia pada masyarakat


Manfaat energi nuklir ini memang dapat diandalkan untuk kebaikan umat manusia, selama tidak disalahgunakan dan digunakan dengan tingkat keamanan yang tinggi maka energi ini dapat sangat menolong umat manusia dalam kehidupan sehari-hari. Selain PLTN, energi nuklir ini juga banyak dimanfaatkan di dunia kesehatan. Kedokteran adalah salah satu bidang yang memanfaatkan energi nuklir ini. Radiologi, radioterapi, dan kedokteran nuklir merupakan sebagian besar cabang spesialis kedokteran yang menggunakan energi radiasi dari nuklir ini dalam melayani pasien.
Salah satu cabang spesialis kedokteran nuklir yang banyak menggunakan sumber energi radiasi nuklir adalah kedokteran nuklir. Menurut WHO dan IAEA, kedokteran nuklir merupakan suatu spesialis kedokteran yang menggunakan energi radiasi terbuka dari nuklir untuk menilai fungsi dari suatu organ, mendiagnosa dan mengobati penyakit. Energi radiasi terbuka ini diberikan dalam bentuk obat radioaktif yang dimasukkan ke dalam tubuh dengan cara diminum atau disuntik. Obat radioaktif yang digunakan di bagian kedokteran nuklir terdiri dari sinar gamma, beta, dan alfa. Saat ini, kedokteran nuklir telah rutin menggunakan sinar gamma untuk prosedur diagnostik, sedangkan sinar beta untuk prosedur terapi. Sedangkan sinar alfa masih dalam tahap penelitian dengan prospek yang menjajikan untuk digunakan di bidang kedokteran.
Pada prosedur diagnostik di kedokteran nuklir, sinar gamma digunakan karena memiliki jarak penetrasi yang panjang sehingga dapat menembus jaringan tubuh manusia yang akan direkam distribusinya di dalam tubuh dengan menggunakan kamera yang disebut kamera gamma. Obat radioaktif yang mengandung sinar gamma ini bersifat fisiologis dan akan disebarkan di dalam tubuh dan terakumulasi pada organ yang ditarget Ada banyak obat radioaktif di kedokteran nuklir yang dapat digunakan untuk menilai metabolisme atau fungsi dari organ yang ada di dalam tubuh.
Pada prosedur terapi di kedokteran nuklir, sinar atau partikel beta digunakan karena memiliki energi yang sangat tinggi walaupun memiliki jarak penetrasi yang sangat pendek. Partikel beta mampu menimbulkan kematian sel dengan cara mendestruksi atau memutus rantai DNA yang ada di dalam inti sel. Sehingga metabolisme di dalam sel akan menjadi terganggu dan menyebabkan kematian sel pada akhir prosesnya. Kematian sel juga dapat terjadi akibat proses apoptosis yang dipicu oleh energi radiasi. Apoptosis adalah kematian sel yang dilakukan secara terprogram, sehingga sel akan mati secara otomatis.
Semua obat radioaktif yang digunakan di kedokteran nuklir menggunakan dosis aktivitas yang sangat rendah sekali. Dokter spesialis kedokteran nuklir menggunakan prinsip ALARA (As Low As Reasonable Achieve), yaitu dengan menggunakan dosis radiasi sekecil mungkin dengan tetap dapat memberikan tingkat akurasi yang tinggi melalui gambar yang dihasilkan atau efektifitas yang tinggi dari terapi. Sehingga prosesdur yang dilakukan di kedokteran nuklir, baik itu diagnostik maupun terapi, merupakan prosedur yang sangat aman untuk dilakukan. Dosis paparan radiasi dari prosedur diagnostik yang dilakukan di kedokteran nuklir relatif tidak berbeda jauh dengan dosis paparan radiasi dari prosedur di radiologi. Kecuali, pada prosedur terapi yang menggunakan obat iodium radioaktif untuk kanker tiroid yang diberikan dalam dosis yang cukup besar, sehingga pasien perlu dirawat isolasi di ruangan khusus sampai paparan radiasi turun ke dalam batas normal. Prosedur kedokteran nuklir tidak boleh dilakukan hanya pada ibu hamil dan menyusui, dan pasien yang keadaan umumnya kurang baik sehingga dikhawatirkan dapat menggangu analisa dan hasil dari prosedur kedokteran nuklir.
Tabel 1. Dosis paparan radiasi pada prosedur diagnostik
         Sumber: www.snm.org

Obat radioaktif yang digunakan di kedokteran nuklir, baik itu diagnostik maupun terapi, memiliki waktu paruh yaitu wakt usia dari obat radioaktif untuk  meluruh menjadi setengah dari aktivitas energi radiasi sebelumnya. Umumnya, waktu paruh dari obat radioaktif yang digunakan di kedokteran nuklir tidak panjang, sehingga radiasi yang ada di dalam tubuh dapat cepat hilang. Selain itu, obat radioaktif biasanya dikeluarkan di dalam tubuh melalui cairan urin atau kotoran, sehingga pasien disarankan untuk banyak minum atau makan setelah prosedur dilakukan untuk mempercepat penurunan radiasi.
Secara umum, prosedur di kedokteran nuklir sangat berbeda dengan prosedur di radiologi. Dari definisi pun jelas berbeda, apabila di kedokteran nuklir energi radiasi yang digunakan adalah sumber radiasi terbuka sedangkan di radiologi adalah sumber radiasi tertutup (yang memancarkan radiasi kameranya, bukan pasiennya seperti yang terjadi di kedokteran nuklir). Sinar yang digunakan pun berbeda, di kedokteran nuklir sinar radiasi yang digunakan adalah sinar nuklir (inti) yaitu sinar gamma, beta, dan alfa, sedangkan radiologi hanya menggunakan sinar-x. Apabila kedokteran nuklir memberikan informasi mengenai metabolisme atau fungsional dari suatu organ (bagaimana kinerja suatu organ), maka radiologi diagnostik memberikan informasi mengenai morfologi atau anatomi dari organ tersebut (bagaimana bentuknya, ukurannya, atau lokasinya). Sedangkan pada terapi, di kedokteran nuklir menggunakan prinsip radiasi internal yaitu memasukkan obat radioaktif sebagai sumber radiasi ke dalam tubuh pasien yang akan diakumulasi secara spesifik oleh organ yang ditarget (targeted therapy), sedangkan pada radioterapi menggunakan prinsip radiasi eksternal yaitu dengan menembakkan sumber radiasi dari pesawat ke tubuh pasien yang ditarget.
Tabel 2. Perbedaan Kedokteran Nuklir dan Radiologi


Berdasarkan patofisiologi terjadinya suatu penyakit, dimana penyakit timbul karena diawali adanya kelainan pada tingkat gen yang mempengaruhi dari pembentukan protein dan berdampak pada fungsi dari organ tersebut, dan dengan seiring berjalannya waktu setelah terjadi kelainan fungsi maka baru akan terjadi perubahan bentuk atau struktur dari organ tersebut. Sehingga suatu penyakit akan dapat dideteksi lebih awal apabila dapat dilakukan pada tingkat molekuler atau gen atau paling tidak pada tingkat fungsi sebelum ada kelainan pada tingkat morfologi atau struktur anatomi. Kedokteran nuklir tidak hanya dapat memberikan informasi suatu organ pada tingkat metabolisme atau fungsional, namun juga secara tidak langsung dapat memberikan informasi di tingkat molekuler atau gen dari suatu organ. Bahkan beberapa prosedur diagnostik di kedokteran nuklir dapat memberikan informasi mengenai kondisi molekuler dari suatu organ. Berdasarkan hal tersebut maka, dapat dikatakan bahwa kedokteran nuklir dapat mendeteksi adanya satu kelainan atau penyakit jauh lebih awal sebelum ditemukannya kelainan pada tingkat anatomi (radiologi).


Gambar 2. Proses patofisiologi penyakit

Prosedur diagnostik di kedokteran nuklir memang telah dikenal sebagai pemeriksaan diagnostik yang sangat sensitif namun kurang spesifik. Sangat sensitif, karena kemampuan kedokteran nuklir dalam mendeteksi adanya suatu penyakit jauh lebih awal sebelum pemeriksaan lain mendeteksi adanya suatu kelainan. Namun dikatakan kurang spesifik karena kedokteran nuklir tidak dapat membedakan kelainan apa yang dimaksud, sehingga dibutuhkan modalitas pemeriksaan yang lain dengan nilai spesifitas yang tinggi untuk mengkonfirmasi kelainan tersebut. Kelemahan dari kedokteran yang lain adalah kurangnya informasi anatomi khususnya mengenai lokasi dari kelainan yang dapat dideteksi dari kedokteran nuklir. Kelemahan ini dapat diatasi dengan menggunakan teknologi hybrid imaging, yaitu kombinasi antara pemeriksaan kedokteran nuklir yang memberikan informasi metabolisme atau fungsional dengan informasi dari anatomi khususnya lokasi. Informasi anatomi pada teknologi hybrid imaging ini menggunakan dosis radiasi yang rendah, sehingga hanya dapat memberikan informasi lokasi saja, tanpa dapat memberikan informasi mengenai anatomi lainnya seperti bentuk, ukuran, dan parameter anatomi lainnya dengan baik. Sehingga infromasi anatomi (lokasi) yang dikombinasikan dengan informasi metabolisme atau fungsional di kedokteran nuklir ini tidak dapat menggantikan peranan dari radiologi diagnostik. Apabila diperlukan informasi mengenai anatomi atau struktur organ secara detil, maka radiologi diagnostik tetap perlu dilakukan secara terpisah.
Di kedokteran nuklir kamera yang digunakan adalah kamera gamma, yaitu kamera yang mampu menangkap dan menganalisa sinar gamma yang dipancarkan dari dalam tubuh pasien. Terdapat 2 macam kamera gamma yang digunakan di kedokteran nuklir: yaitu Single photon emission computed tomography (SPECT) dan Positron Emission Tomography (PET). Perbedaan mendasar dari kedua kamera ini adalah, jenis obat radioaktif yang digunakannya. Pada SPECT, obat radioaktif yang digunakan hanya memancarkan sinar gamma ke satu arah (single photon), sedangkan pada PET obat radioaktif yang digunakan mampu memancarkan sinar gamma ke 2 arah yang berlawanan sekaligus (double photon=positron). Sehingga gambar yang dihasilkan oleh PET relatif lebih baik bila, karena resolusi yang dihasilkan oleh PET lebih tinggi bila dibandingkan dengan SPECT. Pada teknologi hybrid imaging, kamera gamma ini dikombinasikan dengan Computed Tomography (CT) dosis rendah sehingga dapat membantu memperbaiki atenuasi yang dihasilkan oleh kamera gamma. Dengan hybrid imaging, hasil gambar yang dihasilkan oleh PET/CT atau SPECT/CT menjadi lebih baik karena tingkat resolusi citra menjadi lebih baik lagi dengan bantuan CT. Selain itu, juga dapat membantu dalam menentukan lokasi anatomi. Dengan teknologi hybrid imaging ini, nilai diagnostik dari prosedur diagnostik di kedokteran nuklir menjadi semakin tinggi dengan memperbaiki nilai spesifitas dan akurasi dari pemeriksaan diagnostik tersebut.


Gambar 3. The Beauty of Fussion (hybrid imaging).

Dengan semakin berkembangnya kedokteran nuklir ini, maka sudah sewajarnya penanganan pasien  menjadi lebih baik. Deteksi awal dari suatu penyakit dapat dilakukan sejak awal, bahkan sebelum kelainan anatomi atau keluhan dari pasien muncul. Pemberian terapi dapat lebih spesifik hanya pada organ yang ditarget tanpa memberikan dampak yang buruk pada organ lain yang bukan target dari terapi. Saat ini paradigma kedokteran sudah mulai bergeser dari tingkat anatomi menjadi lebih fokus pada tingkat metabolisme atau fungsional bahkan genetik atau molekuler. Semakin awal suatu penyakit dapat terdeteksi maka semakin cepat jenis terapi yang tepat dapat direncanakan, sehingga memperbesar peluang untuk sembuh.
Semoga informasi ini dapat membantu rekan sejawat dokter dalam merawat pasien dan mempertimbangkan jenis pemeriksaan diagnostik yang tepat dalam menegakkan diagnosa penyakit. Hingga saat ini, tidak ada satu jenis pemeriksaan diangostik di kedokteran, yang mampu memberikan tingkat akurasi 100%. Bahkan pemeriksaan diagnostik yang dianggap sebagai gold standard pun memliki kekurangan dan masih mungkin untuk salah. Semua pemeriksaan diagnostik memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, sehingga tidak ada pemeriksaan diagnostik yang mampu menggantikan pemeriksaan diagnostik lainnya, yang ada hanyalah saling melengkapi. Dokter yang cerdas bukanlah dokter yang meminta pasiennya melakukan semua prosedur diagnostik yang mahal namun tidak diperlukan oleh pasien, tapi dokter yang cerdas adalah dokter yang dapat menegakkan diagnosa penyakit dengan menggunakan pemeriksaan diagnostik hanya yang diperlukan oleh pasien. Prosedur diagnostik digunakan untuk membantu dokter yang merawat pasien dalam mencari permasalahan yang terjadi dan menegakkan diagnosa dengan tepat. Kebijakan dokter yang merawat diperlukan dalam pemilihan prosedur diagnostik yang diperlukan oleh pasien, termasuk untung dan ruginya.

7 komentar:

  1. mohon untuk bertanya
    saya sudah 12 kali kolonoskopi.
    dari awal kolonoskopi terdekteksi adanya candida di rektum.lalu di nyatakan adanya sejenis radang usus besar lalu ada yg menyatakan adanya suspect kanker rektum tapi anehnya beberarapa kali kolonoskopi paling akhir menyatakan usus saya normal cuma nampak lendir di usus besar saja tapi gejala penyakit saya makin berat saja.
    saya rasa kolonoskopi sudah gagal menemukan penyebab penyakit usus saya,oleh karena itu saya mau bertanya apa kedokteran nuklir bisa memeriksa usus besar dengan lebih akurat bila di bandingkan kolonoskopi?
    mohon penjelasannya,terima kasih

    BalasHapus
  2. mau nanya, kalau lulusan fisika murni yang mengambil kelompok keahlian pada program sarjananya fisika medis, apakah pada program master bisa mengambil program kedokteran nuklir?

    BalasHapus
    Balasan
    1. tidak bisa mas, kedokteran nuklir (Sp.K.N.) itu adalah cabang spesialis dari kedokteran umum (dr.)

      Hapus
  3. Maaf mau tanya apakah jurusan radiologi termasuk jurusan kedokteran?mohon penjelasan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya, radiologi diagnostik termasuk program pendidikan dokter,namun untuk tingkat spesialis.

      Hapus
  4. Mau nanya mas, lulusan dari teknik nuklir irk - ugm spesifikasi fisika medik. Lulusannya apakah diarahkan ke radiologi atau nuklir kedokteran?

    BalasHapus
  5. Ijin dok bertanya. Kalau persyaratan masuk ppds spesialis nuklir apakah harus memiliki anak dulu seperti syarat radiologi dok? Nuhun

    BalasHapus