Uji klinis masih terus dilakukan pada pasien dengan
keganasan hematologi dan tumor padat untuk meningkatkan peranan RIT pada
keganasan secara rutin. Tahap praktis pada uji klinis dari suatu obat atau
terapi yang baru terdiri dari 3 uji fase, yaitu:
·
Uji Fase I dirancang
untuk menentukan batas dosis toksisitas yang disebut sebagai maximum tolerated dose (MTD) pada
kelompok kecil pasien. Nilai statistik dari uji fase I tidak cukup baik dalam
menilai kemangkusan anti-tumor.
·
Uji fase II dirancang
untuk menguji kemangkusan dari prosedur yang sama pada kelompok kecil dengan
dosis yang lebih rendah dari MTD. Uji fase II dapat dilakukan dengan cara
membandingkan nilai respon tumor dengan populasi kontrol yang diobati dengan
obat yang sudah baku. Obat yang memiliki nilai respon yang rendah tidak akan
dilanjutkan pada uji fase tahap berikutnya.
·
Uji fase III biasanya
melibatkan multi-senter dengan populasi pasien yang lebih besar dan berasal
dari berbagai institusi.
Tabel. Kriteria penilaian respon terapi pada
keganasan
WHO (1976)
|
RECIST 1.1 (2009)
|
PERCIST (diajukan 2009)
|
CR = hilangnya seluruh penyakit yang diketahui
PR = berkurangnya penyakit ≥ 50 % dari baseline
PD = bertambahnya penyakit ≥ 25 % pada 1 lesi atau lebih atau munculnya
lesi baru
NC = yang tidak termasuk kriteria PR ataupun PD
|
CR = hilangnya
seluruh penyakit yang diketahui
PR = berkurangnya
penyakit ≥ 30 % dari baseline
PD = bertambahnya
penyakit ≥ 20 % pada 1 lesi atau lebih atau munculnya lesi baru
SD = yang tidak
termasuk kriteria PR ataupun PD
|
CMR = hilangnya
seluruh lesi dibandingkan background
blood-pool yang diketahui
PMR = berkurangnya
puncak SUL FDG minimal 30 % dari baseline
PMD = bertambahnya
puncak SUL FDG > 30 % dari baseline
SMD = yang tidak
termasuk kriteria PMR ataupun PMD
|
CR = Complete Response, PR = Partial Response, PD = Progressive Disease, NC = Not Change, SD = Stabil Disease, CMR = Complete
Metabolic Response, PMR = Partial
Metabolic Response, PMD = Progressive
Metabolic Disease, SMD = Stabil
Metabolic Disease
(Dikutip
dari : Wahl et al, J Nucl Med,
2009)
Tujuan utama dari pemberian terapi yang baru pada
keganasan adalah kesembuhan. Kriteria penilaian terhadap terapi pada keganasan
diperlukan untuk menentukan apakah terapi yang diberikan efektif atau tidak
efektif. Respon terapi juga diperlukan untuk memprediksi hasil dari terapi yang
baru tersebut. Terdapat beberapa kriteria penilaian terhadap respon terapi
keganasan, diantaranya adalah menurut World
Health Organization (WHO) dan Response
Evaluation Criteria in Solid Tumors 1.1 (RECIST 2009). Kriteria penilaian
ini berdasarkan penilaian secara anatomi. Namun, akhir-akhir ini telah
dipublikasikan kriteria penilaian yang baru terhadap respon terapi berdasarkan
metabolisme glukosa dengan menggunakan pencitraan PET FDG (PET Response Criteria in Solid Tumor (PERCIST 1.0)).8
Ringkasan mengenai kriteria penilaian ini dapat dilihat pada tabel.
LIMFOMA NON-HODGKIN (LNH)
Terdapat dua radiofarmaka sebagai
RIT yang telah diberikan ijin penggunaannya oleh Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat untuk
digunakan sebagai terapi pada pasien LNH yang mengalami relaps atau folikuler/low-grade refrakter atau LNH transformed. Kedua obat tersebut adalah
Y-90 ibritumomab tiuxetan (Zevalin; spectrum Pharmaceutical, Inc.) yang
diberikan ijin penggunaannya oleh FDA sejak tahun 2002 dan I-131 tositumomab (Bexxar;
GlaxoSmithKline) sejak tahun 2003.10
-- 16
Y-90 ibritumomab tiuxetan
Pemberian dari Y-90 ibritumomab
tiuxetan terdiri dari beberapa tahap. Pemberian dosis terapi dari rituximab
(250 mg/m2) dilakukan 1 minggu sebelum pemberian terapi Y-90 ibritumomab dengan
tujuan untuk mengoptimalkan penangkapan tumor. Hal ini dilakukan untuk
mengurangi CD20+ dari sel B yang bersirkulasi dan meningkatkan ikatan antara
antibodi berlabel radioisotop dan CD20+ sel ganas. In-111 ibritumomab tiuxetan
dengan aktivitas 5 mCi diberikan untuk pencitraan biodistribusi. Dosis terapi
Y-90 ibritumomab dihitung berdasarkan berat badan (0.4 atau 0.3 mCi/kg [14.8
atau 11.1 MBq/kg] dengan dosis maksimum 32 mCi [1184 MBq]).11
Pada suatu uji fase I/II yang
dilakukan oleh Witzig TE dkk., pada 51 pasien dengan LNH derajat rendah,
sedang, dan sel-mantle dengan menggunakan 0.2 sampai 0.4 mCi/kg (7.4 – 14.8
MBq/kg) Y-90 ibritumomab tiuxetan menunjukkan Overall Response Rate (ORR) adalah 67 % (26 % CR) dengan waktu
respon berkisar antara 10.8 – 14.4 bulan. Nilai respon paling tinggi terjadi
pada pasien dengan LNH derajat rendah dengan respon secara keseluruhan adalah
82 % (27 % CR, 56 % PR) sedangkan pada LNH derajat sedang terjadi pada 43 %
pasien (29 % CR, 14 % PR). 12
Pada uji fase III Witzig TE et al membandingkan
antara Y-90 ibritumomab tiuxetan dan rituximab pada 143 pasien LNH CD20+
derajat rendah yang mengalami kekambuhan atau refrakter, folikuler, atau
transformasi. Terapi Y-90 ibritumomab tiuxetan menunjukkan ORR adalah 80 % (30
% CR) sedangkan pada rituximab menunjukkan ORR adalah 56 % (16 % CR). Nilai
respon yang paling tinggi dari Y-90 ibritumomab tuxetan terjadi pada pasien
dengan limfoma folikuler (86 % vs 67 % untuk LNH non-folikuler), sedangkan
untuk rituximab nilai respon yang terjadi pada LNH folikuler adalah 55 % (p
< 0.01) dan 50 % pada LNH non-folikuler.13
I-131 tositumomab
Protokol pemberian dari I-131
tositumomab terdiri dari dosimetri dengan menggunakan 5 mCi (185 MBq) I-131
tositumomab yang sebelumnya diberikan antibodi. Beberapa hari kemudian, pencitraan
seluruh tubuh dilakukan untuk penghitungan dosimetri. Hal ini dilakukan untuk
menghitung waktu clearance radiofarmaka
dan dosis terapi yang dibutuhkan untuk memberikan dosis radiasi seluruh tubuh (biasanya
65 – 75 cGy). Dosis terapi diberikan 1 minggu setelah dosimetri dengan
sebelumnya diberikan antibodi tanpa berlabel radioisotop. Penghambatan tiroid
dengan menggunakan Lugol dilakukan paling kurang selama 3 minggu sebelum
pemberian dosis dosimetri. Pada pasien yang diberikan dosis terapi perlu
dilakukan isolasi hingga nilai paparan radiasi turun hingga batas aman. 11
Kaminski et al,2000, melakukan uji
fase I/II dengan I-131 tositumomab menunjukkan bahwa pada 59 pasien dengan LNH
yang relaps/refrakter terhadap kemoterapi. 42 pasien (71 %) berespon terhadap
RIT (20 pasien respon penuh (34 %)). Nilai median free-progressive adalah 12 bulan bagi pasien yang berespon, dan 20
bulan pagi pasien yang CR.14
Gambar. Perbandingan citra PET scan sebelum dan setelah terapi pasien yang mendapatkan RIT dengan (a) I-131 tositumomab (Bexxar) dan (b) Y-90 ibritumomab tiuxetan (zevalin) |
TUMOR PADAT 17,18
Hingga saat ini aplikasi RIT untuk tumor padat
kurang berhasil bila dibandingkan dengan LNH. Hal ini disebabkan karena tumor
padat kurang sensitif terhadap radiasi. Suplai vaskuler yang terbatas,
penangkapan antibodi yang heterogen pada tumor, tekanan interstitial yang
tinggi pada tumor, dan jarak yang relatif panjang di ruang interstitial
menyebabkan tumor padat kurang sensitif terhadap RIT. Penangkapan RIT pada
tumor hanya sekitar 0.001 - 0.01 % per
gram tumor dari dosis yang diinjeksikan. Dosis serap radiasi pada tumor tidak
lebih dari 1.500 cGy. Penangkapan pada tumor berkorelasi terbalik dengan ukuran
tumor. Pada penelitian menggunakan hewan, RIT lebih efektif pada volume tumor
yang kecil.17,18
Pemberian RIT pada keganasan berdasarkan dari karakteristik
ekspresi antigen dan antibodinya. Keganasan yang sering diberikan RIT termasuk
keganasan epitelial, seperti karsinoma kolorektal, karsinoma ovarium, karsinoma
tiroid medulari, dan yang jarang diberikan RIT adalah keganasan payudara,
prostat, dan ginjal. Antigen yang sering ditarget oleh terapi RIT adalah CEA
(terutama pada keganasan kolorektal, tiroid medulari, dan payudara), Mucin-1
(Muc-1, terutama pada keganasan ovarium dan payudara), tumor-associated antigen-72 (TAG-72, terutama pada keganasan
kolorektal, ovarium, dan payudara), dan G250 (terutama pada keganasan ginjal).
Hampir semua penelitian yang dipublikasikan saat ini merupakan uji klinis fase
I/II yang bertujuan untuk menentukan MTD. 17,18
Hasil penelitian RIT pada tumor padat masih
bervariasi. CR jarang terjadi, walaupun dapat terjadi PR atau SD. Radioisotop yang
sering digunakan adalah I-131 atau Y-90, walaupun Re-186, Re-188, atau Lu-177
juga dapat digunakan. Berikut ini akan dibahas hasil-hasil penelitian aplikasi
RIT pada tumor padat. 17,18
Keganasan
payudara
Keganasan payudara merupakan
keganasan yang pertama kali ditarget oleh RIT karena angka prevalensinya yang relatif
tinggi, radiosensitif, dan ketersediaan dari antibodi yang ditarget terhadap antigen
tumor. CEA, MUC-1, dan L6 merupakan antigen tumor yang sering digunakan dalam
RIT pada keganasan payudara.
CEA diekspresikan hanya 19 % oleh
keganasan payudara. Anti-CEA dapat digunakan sebagai RIS dan RIT pada pasien
dengan keganasan payudara. Wong dkk., melakukan penelitian untuk menilai
tingkat toksisitas pada pemberian Y-90 DTPA-Mab T84.66 pada pasien dengan
metastasis keganasan payudara. Nilai MTD yang diperoleh adalah 814 MBq/m2
dengan toksisitas yang terjadi adalah mielosupresi reversibel derajat III. Pencitraan dilakukan untuk mengkonfirmasi
penangkapan radioisotop oleh tumor yang ditarget. Respon klinis yang dicapai
adalah SD selama 4 bulan, perbaikan hasil sidik tulang, pengurangan 50 %
metastasis, dan pengurangan efusi pleura atau nyeri tulang hingga 14 dan 3
bulan.19
DeNardo dkk., melakukan uji fase I
dengan tujuan menentukan farmakokinetik dan MTD dari Y-90 MX-DTPA-BrE-3 pada 6
pasien dengan metastasis keganasan payudara. Nilai MTD yang dicapai adalah 342
MBq/m2 dengan 3 pasien menunjukkan ORR, yaitu 1 pasien dengan PR dan pasien
lainnya adalah berkurang edema pada lengan dan lesi kulit.20
Antigen permukaan sel L6
diekspresikan sangat tinggi oleh berbagai keganasan termasuk oleh payudara,
paru-paru, kolorektal, dan ovarium. DeNardo dkk., telah melakukan penelitian
yang menggunakan I-131 cL6 pada 10 pasien dengan metastasis keganasan payudara
secara berulang (4 siklus per bulan). Dosis I-131 berkisar antara 740 – 2590
MBq/m2 dan diberikan setelah pencitraan dosimetri. Respon tumor dapat terlihat
pada 6 pasien dengan 3 pasien mengalami PR
dan 1 pasien mengalami SD.
17,18
Keganasan
kolorektal
(KKR)
Pembedahan memiliki
peranan yang penting dalam diagnostik dan terapi pada KKR, namun perananannya
pada KKR yang difus mikroskopis masih sangat terbatas. Radioterapi dan
kemoterapi memiliki ORR yang baik pada KKR yang difus mikroskopis, namun angka
morbiditas dan perburukan kualitas hidup pada pasien sangat tinggi. Sebagian
besar pasien mengalami kekambuhan, walaupun telah diberikan kemoterapi
berulang. Pemberian RIT pada tumor berukuran kecil merupakan terapi tambahan
dari radioterapi dan kemoterapi. RIT dapat memperbaiki pronosis dari pasien KKR
karena kemampuannya dalam memberikan efek radiasi pada tumor dan kemampuan imunotoksik
dari antibodinya.
Divgi dkk., pada tahun 1995, melakukan uji fase I
dari 24 pasien yang mengekspresikan TAG-72 diberikan I-131 CC49 (20 mg) dengan
dosis awal 15 mCi/m2 yang ditingkatkan hingga 90 mCi/m2. Semua pasien memiliki
respon yang buruk terhadap kemoterapi dan belum pernah diberikan radioterapi
dan antibodi. Tidak ada pasien yang mengalami efek samping dari pemberian RIT,
namun semua pasien mengalami HAMA. Apabila dosis RIT kurang dari 60 mCi/m2
tidak ditemukan adanya toksisitas hematologi. Pada dosis 60 mCi/m2, 1 pasien
mengalami trombositopenia derajat II dengan titik terendah terjadi pada 3
minggu setelah pemberian RIT. Trombositopenia derajat III dan IV dapat terjadi
pada pasien yang diberikan dosis lebih tinggi. Limfopenia grade IV terjadi pada
1 pasien yang diberikan dosis 90 mCi/m2. Enam pasien tampak mengalami SD selama
4 minggu.21
RIT sebagai terapi tambahan juga
terbukti dapat memperbaiki angka overall
survival (OS) dan 5-year survival
rate pada pasien KKR yang bermetastasis ke liver. Sepertiga pasien yang
menjalani reseksi untuk metastasis ke liver hanya mampu bertahan selama 5
tahun. Pada uji fase II, Liersch dkk., memberikan I-131 labetuzumab (anti-CEA)
dengan dosis 40 – 60 mCi/m2 pada pasien yang telah menjalani reseksi untuk
pasien KKR dengan metastasis liver. Angka median OS dan disease-free survival adalah 68 bulan dan 18 bulan. Angka 5-year survival adalah 51.3 %.22
Uji fase II dilakukan oleh Murray dkk.,
pada 15 pasien dengan KKR. Semua pasien memiliki riwayat pemberian kemoterapi.
Pasien diberikan I-131 CC49 dengan dosis 75 mCi/m2 secara intravena. Toksisitas
non-hematologi yang terjadi diantaranya adalah mual, arthralgia, demam,
menggigil, dan perubahan tekanan darah sementara. Trombositopenia (derajat
III-IV) dan granulositopenia (derajat III-IV) reversibel terjadi pada 50 %
pasien 4 – 5 minggu setelah pemberian RIT. Reaksi HAMA terjadi pada hampir 90 %
pasien 6 – 8 minggu setelah pemberian antibodi monoklonal. Walaupun lokalisasi tumor
cukup baik dengan nilai sensitivitas 87 %, namun tidak tampak respon tumor.
Tiga pasien mengalami SD selama 8 minggu dan menerima RIT kembali, namun
sayangnya semua pasien mengalami PD pada 16 minggu setelah pemberian RIT.23
Keganasan
ovarium
Beberapa penelitian melaporkan bahwa
RIT dapat digunakan baik sebagai modalitas diagnostik maupun terapi pada pasien
dengan keganasan ovarium. Pemberian RIT secara lokoregional direkomendasikan
untuk meningkatkan nisbah tumor-nontumor pada penyakit di intraperitoneal sehingga
dapat memperbaiki hasil terapi. Pada uji klinis fase I yang dilakukan oleh
Alvarez RD dkk., dengan memberikan Y-90 CC49 secara intraperitoneal pada pasien
keganasan ovarium yang persisten atau rekurens. Dari dua puluh pasien yang
gagal terhadap pemberian 1 – 2 siklus kemoterapi diperoleh nilai MTD adalah
24.2 mCi/m2 dengan toksisitas hematologi yang membatasi pemberian dosis. Dari 9
pasien yang dapat diukur tumornya, 2 pasien mengalami PR selama 2 dan 4 bulan.
Dari 11 pasien yang tidak dapat diukur tumornya, waktu median untuk progresif
adalah 6 bulan untuk 7 pasien yang kambuh, sedangkan 4 pasien lainnya tidak
terbukti kambuh selama masing-masing 9, 18, 19, dan 23 bulan.24
Mahe et al, memberikan 120 mCi (4.44
GBq) I-131 F(ab’)2 OC 125 secara intra-peritoneal pada 6 pasien
karsinoma ovarium dengan residual mikroskopis. Semua pasien telah menjalani
laparotomi dan kemoterapi 1 – 2 siklus. Laparaskopi atau laparotomi dilakukan 3
bulan setelah RIT dan ditemukan 3 pasien mengalami PD dan 3 pasien SD. Dua
pasien mengalami neutropenia dan dua pasien mengalami trombositopenia. HAMA
terlihat pada semua pasien.25
Hird dkk., melaporkan 52 pasien
dengan keganasan ovarium derajat I – IV yang menerima Y-90 berlabel antibodi
monoklonal setelah pembedahan dan kemoterapi. Sekitar 40 % dari pasien tersebut
tidak memiliki bukti adanya sisa keganasan. Pasien dengan tumor yang berukuran
besar memiliki median nilai survival
selama 11 bulan (2 - 31 bulan). 17
Keganasan otak
Pemberian RIT secara lokoregional melalui
rongga tubuh (seperti, peritoneum, kepala, pleura, dan kandung kemih) memberikan hasil terapi yang cukup baik.
Antibodi ditangkap secara langsung oleh TSA dan bertahan di tumor dengan waktu
yang cukup lama untuk memberikan efek radiasi yang diperlukan untuk mencapai
respon terapi yang diinginkan. Beberapa penelitian telah menunjukkan respon
klinis yang baik pada pasien dengan tumor di daerah leptomeningeal yang diberikan
RIT secara intratekal.
Keganasan glioma mengekspresikan
tenascin dalam kadar yang tinggi pada tumor. Tenascin ini terdistribusi secara
merata pada jaringan tumor yang viabel. Dua antibodi anti-tenascin yang berasal
dari tikus, BC-2 dan BC-4, dapat dilabel dengan I-131 dan digunakan pada pasien
dengan GBM rekuren berukuran besar. Semua pasien telah menjalani pembedahan
dilanjutkan dengan radioterapi dan kemoterapi akibat kekambuhan dari
penyakitnya. Dosis antibodi rerata adalah 1.93 mg dan I-131 adalah 551.3 MBq
yang diberikan secara intra-tumoral dan dapat diulang hingga mencapai dosis
kumulatif pada tumor > 15.000cGy.
Pemberian dosis antibodi dapat ditingkatkan hingga 3 mg dan dosis I-131
hingga 1100 MBq dengan dosis serap radiasi pada tumor mencapai > 25000 cGy.
Pemberian terapi ini menghasilkan nilai respon objektif terapi sebesar 34.7 %.
Nilai CR dan PR dari RIT ini dapat mencapai 36 % dan SD sebesar 30 %, sehingga
dapat memperbaiki angka OS dan kualitas hidup pasien.26
Reardon DA dkk., dalam suatu uji
fase II yang menilai kemangkusan dan toksisitas dari 100 mCi I-131-m81C6
(antitenascin) yang diberikan secara intra-tumoral pada saat operasi pasien
keganasan otak dengan kekambuhan. Sebanyak 63 % dari 34 pasien glioblastoma
multiforme(GBM)/gliosarkoma(GS) dan 59 % dari 9 pasien dengan anaplastic
astrocytoma(AA)/anaplastic oligodendroglioma(AO)/metastatic adenocarcinoma
dapat bertahan hidup selama 1 tahun. Nilai median OS untuk GBM/GS dan AA/AO adalah 64 minggu dan 99 minggu.27
Keganasan
ginjal
Beberapa antigen telah digunakan
dalam penelitian eksperimental RIT pada pasien dengan keganasan ginjal, namun
hanya antigen G250 yang telah digunakan di dalam klinis. Steffens dkk.,
melakukan penelitian dengan menggunakan I-131 chimeric G250 pada pasien dengan keganasan ginjal. Tampak
penangkapan radioaktivitas pada tumor cukup tinggi yaitu mencapai 0.052 % dosis
injeksi per gram tumor. Pemeriksaan dosimetri membuktikan dosis serap radiasi
pada tumor dapat mencapai 1.95 cGy/MBq. Pada uji fase I ini Steffens dkk.,
memperoleh nilai MTD adalah 2250 MBq/m2 dan terlihat 1 pasien dengan PR
sedangkan pasien lainnya mengalami SD lebih dari 6 bulan.28
Divgi CR dkk., melakukan penelitian
untuk menentukan nilai MTD dari I-131 G250 pada pasien dengan metastasis
keganasan ginjal. Nilai MTD diperoleh 3330 MBq/m2. Walaupun tidak tampak ORR
dari terapi, namun ditemukan 17 dari 33 pasien mengalami SD. Semua pasien yang
diberikan RIT mengalami HAMA.29
Keganasan tiroid
meduler
(KTM)
Prognosa KTM bervariasi mulai dari
angka OS yang panjang hingga lebih pendek pada pasien dengan faktor prognostik
yang buruk seperti usia lebih dari 45 tahun, stadium penyakit, dan penanda
tumor. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa kadar CEA berkorelasi baik
dengan perjalanan penyakit.
Pada uji fase I/II yang dilakukan
oleh Kraeber-Bodere F dkk., menggunakan teknik pretarget 50 mg In-murine
BsMAbanti-CEA/anti-DTPA (F6-734, antibodi bispesifik) dengan interval waktu 4
hari sebelum penyuntikan 40 – 100 mCi I-131 hapten bivalen pada 26 pasien KTM
rekurensi. Persentase rerata penangkapan aktivitas per gram yang disuntikkan oleh
tumor pada saat maksimum adalah 0.08 % (kisaran 0.003 – 0.26 %). Waktu paruh
biologis tumor berkisar antara 3 – 95 hari. Toksisitas hematologi grade III/IV
dialami oleh 7 pasien dengan metastasis tulang. Dari 17 pasien yang dapat dinilai, 4 pasien keluhan nyeri menghilang,
5 pasien dengan respon minor, dan 4 pasien berespon terhadap penurunan kadar
kalsitonin. HAMA terjadi pada 9 pasien. MTD pada kelompok pasien ini adalah 48
mCi/m2. Respon terapi dapat terlihat pada pasien dengan sisa tumor berukuran
kecil.30
Chatal JF dkk., memberikan 38 – 112
mCi I-131 bivalen hapten dengan 4 hari sebelumnya diberikan 50 mg F6-734 pada
29 pasien dengan KTM kemudian dibandingkan dengan 39 pasien KTM yang tidak
diberikan RIT. Pada pasien yang diberikan RIT angka OS lebih tinggi (median,
159 vs 61 bulan; p<0.01)
dibandingkan pasien yang tidak diberikan RIT. 30
Keganasan
prostat
PSMA merupakan suatu glikoprotein
membran sel yang stabil dan tidak disekresikan
oleh prostat. PSMA diekspresikan tinggi oleh keganasan prostat, walaupun juga
diekspresikan rendah pada jaringan normal seperti usus halus, sel tubulus
proksimal ginjal, dan kelenjar saliva. Antibodi monoklonal terhadap PSMA (J591)
secara selektif ditangkap oleh keganasan prostat dan metastasisnya.
Uji fase I untuk RIT keganasan
prostat dilakukan oleh Milowsky MI dkk., dengan memberikan Y-90 J591 yang 1
minggu sebelumnya dilakukan pemeriksaan farmakokinetik dan biodistribusi dengan
In-111 J591 pada 29 pasien dengan keganasan prostat. Y-90 J591 diberikan dalam
5 dosis yaitu 5, 10, 15, 17.5, dan 20 mCi/m2. MTD yang diperoleh adalah 17.5
mCi/m2. Dua pasien mengalami trombositopenia yang memerlukan tranfusi
trombosit. Dari pencitraan, tampak penangkapan radioaktivitas pada lesi yang
diketahui metastasis tulang dan jaringan lunak lainnya. Tidak ada reaksi
HAMA/HAHA ditemukan pada pasien. Efek anti-tumor terlihat pada 2 pasien yang
mengalami penurunan kadar PSA sebesar 85 % dan 70 % selama 8 dan 8.6 bulan.
Enam pasien (21 %) mengalami SD dari penyakitnya.32
Uji klinis fase II telah dilakukan
di 2 senter pada 15 pasien dengan metastasis keganasan prostat yang progresif
menerima Lu-177 J591 dengan aktivitas 65 mCi/m2 dan 17 pasien menerima 70
mCi/m2. Penangkapan radioaktivitas tampak pada lesi metastasis pada 30 dari 32
(94 %) pasien. Tampak penurunan kadar PSA pada pasien yang menerima 70 mCi/m2
(71 %) dibandingkan dengan 65 mCi/m2 (46 %).33
SIMPULAN
Walaupun masih dalam tahap
pengembangan, namun RIT merupakan terapi tambahan yang cukup menjanjikan untuk keganasan.
Modalitas RIT saat ini baru terbatas digunakan sebagai terapi tambahan pada
pasien dengan LNH. FDA telah memberikan ijin penggunaan Y-90 ibritumomab
tiuxetan dan I-131 tositumomab pada RIT untuk LNH yang relaps atau refrakter
folikuler derajat rendah. Penggunaan RIT pada tumor padat masih menemui banyak
kesulitan karena penangkapan RIT di tumor masih sangat rendah. Pemberian secara
lokoregional diharapkan dapat meningkatkan kemangkusan RIT untuk tumor padat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Houghton AN. Cancer Antigens : Immune Recognition of Self
and Altered Self.J Exp Med 1994;180:1-4.
2. Sharkey
RM and Goldenberg DM. Targeted Therapy of Cancer : New Prospects for Antibodies
and Immunoconjugates. CA Cancer J Clin 2006;56:226-243.
3. Koppe
MJ. Antibody-guided radiation therapy of cancer. Surgery and Radioimmunotherapy
in peritoneal carcinomatosis of colorectal origin. Gildeprint Drukkerijen,
Enschede, The Netherlands. Thesis. 2006;1:13-62.
4. Paganeli
et al. Radioimmunological therapy. In : Maisey MN, Britton KE, and Collier BD,
editors. Clinical Nuclear Medicine. 3rd ed. London : Chapman &
Hall; 1998. P. 39 – 52
5.
Carrasquillo
JA, Harbert JC. Radioimmunotherapy. In : Harbert JC, Eckelman WC, and Neumann
RD, editors. Nuclear medicine diagnosis and therapy. New York : Thieme; 1996.
P. 1125 – 1140
6.
Ng
DCE. Radioimmunotherapy : a brief overview. Biomed Imaging Interv J. 2006;
2(3):e23
7.
Prise KM. Bystander effects and Radionuclide Therapy. In
: Stigbrand T, Carlsson J, and Adams GP. Targeted Radionuclide Tumor Therapy
Biological Aspect. Springer Science+Business Media B.V; 2008.P.311-20
8. Macey
et al. A primer for radioimmunotherapy and radionuclide therapy. Madison :
Medical physics; 2001.
9.
Wahl
RL, Jacene H, Kasamon Y, and Lodge MA. From RECIST to PERCIST: Evolving
Consideratio for PET Response Criteria in Solid Tumors. J Nucl Med
2009;50:122S-150S.
10.
Sharkey
RM, Karacay H, and Cardillo TM. Improving the Delivery of Radionuclides for
Imaging and Therapy of Cancer Using Pretargeting Methods. Clin Cancer Res
2005;11:7109s-7121s.
11.
Cheson
BD. Radioimmunotherapy of non-Hodgkin lymphomas. Blood 2003;101:391-398.
12.
Witzig
TE et al. Phase I/II Trial of IDEC-Y2B8 Radioimmunotherapy for Treatment of
Relapsed or Refractory CD20+ B-Cell Non-Hodgkin’s Lymphoma. J Clin Oncol
1999;17:3793-803
13.Witzig
TE et al. Randomized Controlled Trial of Yttrium-90-Labeled Ibritumomab
Tiuxetan Radioimmunotherapy Versus Rituximab Immunotherapy for Patients With
Relapsed or Refractory Low-Grade, Follicular, or Transformed B-Cell
Non-Hodgkin’s Lymphoma. J Clin Oncol 2002;20:2453-63.
14.
Kaminski
MS et al. Radioimmunotherapy with iodine-131 tositumomab for relapsed or
refractory B-cell non-Hodgkin lymphoma: updated results and long-term follow-up
of the University of Michigan experience. Blood 2000;96:1259-66.
15. Gregory
SA, Hohloch K, Gisselbrecht C, Tobinal K, and Dreyling M. Harnessing the energy:
Development of radioimmunotherapy for patients with non-hodgkin’s lymphoma. The
oncologist 2009;14(suppl 2):4 – 16
16.
Jacobs
SA. Radioimmunotherapy : a promising treatment strategy for follicular
lymphoma. Commun Oncol 2010;7:7 – 10
17.
Meredit
RF and Buchsbaum DJ. Radioimmunotherapy for solid tumors. In : Henkin RE et
al., editors. Nuclear Medicine. 2nd ed. Philadelphia : Mosby; 2006.
P . 1624 – 1632
18.
Divgi
C. Radioimmunotherapy of solid tumors. In : Eary JF and Brenner W, editors. Nuclear
Medicine Therapy. New York : Informa Healthcare USA, Inc; 2007. P. 121 – 146
19. Wong
JYC et al. Initial Clinical Experience Evaluating Yttrium-90-Chimeric T84.66
Anticarcinoembryonic Antigen Antibody and Autolous Hematopoietic Stem Cell
Support in Patients with Carcinoembryonic Antigen-producing Metastatic Breast
Cancer. Clin Cancer Res 1999; 5:3224s-231s
20.
DeNardo
SJ et al. Radioimmunotherapy for Breast Cancer Using Indium-111/Yttrium-90
BrE-3: Results of a Phase I Clinical Trial. J Nucl Med 1997; 38:1180-85
21.
Divgi
CR et al. Phase I Radioimmunotherapy Trial with Iodine-131-CC49 in Metastatic
Colon Carcinoma. J Nucl Med 1995; 36:586-92
22.
Liersch
T et al. Phase II Trial of Carcinoembryonic Antigen Radioimmunotherapy With
I-131 Labetuzumab After Salvage Resection of Colorectal Metastases in the
Liver: Five-Year Safety and Efficacy Results. J Clin Oncol 2005;23:6763-70
23.
Murray
JL et al. Phase II Radioimmunotherapy Trial with I-131 CC49 in Colorectal
Cancer. Cancer 1994;73:1057-66
24. Alvarez
RD et al. A Phase I Study of Combined Modality Y-90 CC49 Intraperitoneal
Radioimmunotherapy for Ovarian Cancer. Clin Cancer Res 2002;8:2806-11
25.
Mahe
MA et al. A Phase II Study of Intraperitoneal Radioimmunotherapy with
Iodine-131-labeled Monoclonal Antibody OC-125 in Patients with Residual Ovarian
Carcinoma. Clin Cancer Res 1999;5:3249s-53s
26.
Riva
P, Franceschi G, Riva, N, Casi M, Santimaria M, Adamo M. Role of Nuclear
Medicine in the treatment of malignant gliomas: the locoregional
radioimmunotherapy approach. Eur J Nucl Med 2000;27:601-09
27.
Reardon
DA et al. Salvage Radioimmunotherapy With Murine Iodine-131-Labeled
Antitenascin Monoclonal Antibody 81C6 for Patients With Recurent Primary and
Metastatic Malignant Brain Tumors : Phase II Study Results. J Clin Oncol
2006;24:115-22
28.
Steffens
MG et al. Phase I Radioimmunotherapy of Metastatic Renal Cell Carcinoma with
I-131-labeled Chimeric Monoclonal Antibody G250. Clin Cancer Res
1999;5:3268s-74s
29.
Divgi
CR et al. Phase I/II radioimmunotherapy trial with iodine 131-labeled
monoclonal antibody G250 in metastatic renal cell carcinoma. Clin Cancer Res
1998; 4:2729-39
30.
Kraeber-Bodere
F et al. Radioimmunotherapy in Medulary Thyroid Cancer Using Bispesific
Antibody and Iodine 131-labeled Bivalent Hapten: Preliminary Results of a Phase
I/II Clinical Trial. Clin Cancer Res 1999;5:3190s-98s
31.
Chatal
JF et al. Survival Improvement in Patients With Medullary Thyroid Carcioma Who
Undergo Pretargeted Anti-Carcinoembryonic-Antigen Radioimmunotherapy: A
Collaborative Study With the French Endocrine Tumor Group. J Clin Oncol
2006;24:1705-11
32.
Milowski
MI et al. Phase I Trial of Yttrium-90-Labeled Anti-Prostate-Specific Membrane
Antigen Monoclonal Antibody J591 for Androgen-Independent Prostate Cancer. J
Clin Oncol 2004;22:2522
33. Tagawa ST. Anti-Prostate-Specific Membrane
Antigen-Based Radioimmunotherapy for Prostate Cancer. Cancer 2010;116:1075-83
Tidak ada komentar:
Posting Komentar